Singaraja, koranbuleleng.com | Sebuah ogoh-ogoh megah berdiri kokoh di Balai Banjar Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Karya yang dibuat oleh Sekaa Truna Truni (STT) Abdi Yowana Banjar Babakan ini mengusung tema “Ratu Wong Samar” dan saat ini telah mencapai 75 persen dalam proses pembuatannya.
Tema ini terinspirasi dari kepercayaan masyarakat Bali tentang Wong Samar, makhluk tak kasat mata yang diyakini mendiami Pulau Dewata. Kisah ini berakar dari legenda tentang kutukan Dang Hyang Nirata, pendeta Brahmana dari era Majapahit.
Kisah Wong Samar dalam Sejarah Bali

Menurut cerita turun-temurun, pada tahun 1489, Dang Hyang Nirarta bersama istri dan tujuh anaknya menyeberang dari Jawa Timur ke Bali. Namun, sesampainya di Bali Utara, mereka mengalami musibah tragis. Putri sulungnya, Dyah Swabhawa, dikisahkan mengalami penganiayaan di sebuah desa tua.
Dalam amarahnya, Dang Hyang Nirata mengutuk warga desa itu agar menjadi manusia tak kasat mata, yang kemudian dikenal sebagai Wong Samar. Kemarahannya juga membuat desa tersebut dilalap api dengan kekuatan spiritualnya. Dyah Swabhawa pun diangkat sebagai pemimpin Wong Samar di Bali.
Pesan Sakral di Balik Karya Ogoh-Ogoh
Ketua Panitia Ogoh-Ogoh STT Abdi Yowana, Komang Angga Tri Wardana, mengungkapkan bahwa pemilihan tema ini bertujuan untuk mengajarkan masyarakat agar hidup selaras dengan alam dan dunia gaib.
“Kisah ini kita ambil untuk memperingatkan agar manusia tidak sembarangan bertindak di tempat-tempat yang dianggap sakral,” ujarnya, Sabtu, 22 Februari 2025.

Selain itu, tema ini juga mengandung pesan lingkungan. Angga menegaskan pentingnya menjaga alam sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk hidup, baik yang terlihat maupun tidak.
“Salah satu bentuk menjaga lingkungan yang dilakukan adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Apalagi pemerintah saat ini tengah menggalakkan pengurangan plastik sekali pakai,” katanya.
Kreativitas Berbahan Ramah Lingkungan
Pembuatan ogoh-ogoh ini dimulai sejak 12 Januari 2025 dengan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan seperti bambu dan kertas koran. Saat ini, prosesnya telah memasuki tahap penempelan tisu sebelum nantinya dicat dan dihias.
“Untuk saat ini kami sedang dalam tahap penempelan dengan tisu. Setelah ini akan dicat dan dihias, jadi prosesnya sudah mencapai 75 persen,” ungkap Angga.
Karya seni ini bukan sekadar simbol kreativitas, tetapi juga menjadi pengingat akan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang terus dijaga oleh generasi muda di Buleleng. (*)
Pewarta : Kadek Yoga Sariada