Goresan Unik dari Seni Lukis Wayang Kaca

Karya seni lukis dengan menggunakan bahan dari kaca |FOTO : Rika Mahardika|

Singaraja, koranbuleleng.com| Di sebuah rumah sederhana, terlihat seorang lelaki dengan rambut yang sudah mulai memutih. Ia duduk dan berhadapan dengan meja. Di Atas meja itu, nampak kaca yang di bagian permukaan atasnya terlihat gurat coretan hitam.

- Advertisement -

Tangan kanan lelaki itu memegang sesuatu yang beberapa kali diarahkan pada kaca yang ada di hadapannya. Setelah didekati, benda itu adalah pen, sebuah alat yang digunakan untuk melukis. Pen itu terlihat dicelupkannya pada sebuah wadah yang didalamnya berisikan tinta cina. Ternyata, lelaki itu memang sedang melukis. Ya, melakukan aktivitas melukis yang tidak biasa dijumpai. Melukis di atas kaca.

Lelaki itu bernama Ketut Santosa. Ia rupanya generasi ke dua Jro Dalang Diah, seorang seniman lukis wayang kaca yang namanya sudah tersohor dari Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. Jika merujuk dari silsilah keluarga, Santosa adalah cucu dari mendiang Jro Dalang Diah yang bernama asli Ketut Negara.

Masuk ke dalam sebuah ruang pada bagian depan rumahnya, ruangan yang ditata sebagai ruang tamu justru lebih terlihat bak galeri pada sebuah museum. Di ruangan itu penuh dengan lukisan wayang kaca karya Santosa. Lukisan Wayang Kaca itu berjejer, terpampang pada dinding ruangan, hingga bersandar seadanya pada tembok karena ruang yang tidak cukup untuk menampungnya.

Selain berhiaskan hasil karya lukisan kacanya, pada bagian dinding juga terlihat sebuah kertas putih yang usang dalam sebuah bingkai. Pada kertas itu terdapat gambar tokoh pewayangan yang belum berwarna. Itu adalah sebuah mal, alat bantu pengerjaan sebuah pola lukisan yang merupakan warisan dari Jro Dalang Diah. Ketut Santosa hanya memiliki beberapa saja, karena mal peninggalan sang maestro sudah dibagikan kepada ahli waris lainnya.

- Advertisement -

“Yang saya punya hanya beberapa saja, seperti motif Bima ruci, tokoh Arjuna dalam cerita Arjuna Wiwaha, Hanoman datang ke alengka menjadi utusan Sang Rama. Ini masih saya simpan dengan baik,” kata Santosa memulai ceritanya.

Pria kelahiran 21 Juli 1970 kemudian melanjutkan ceritanya bagaimana Ia sangat tertarik ketika melihat sang Kakek melukis kaca. Goresan pertama Ia lakukan ketika kelas 4 SD. Keahliannya dalam mengoleskan kuas lukis pada kaca memang lebih banyak dipelajarinya secara otodidak. Betapa tidak, setiap kali pulang sekolah, aktivitas ayahnya dan dan Sang Kakek tentunya selalu bergulat dengan lukisan.

Karena memang, melukis tokoh pewayangan pada sebuah kaca memang menjadi pekerjaan utama keluarga mereka dulu. Maklum saja, tidak seperti warga lain di Desa Nagasepaha yang memiliki lahan untuk digarap, Keluarga Jro Dalang Diah memang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain melukis kaca.

“Karena setiap hari tiang melihat, datang dari sekolah melihat melukis. Dengan melihat langsung cara dan teknik nya jadi bisa. Tapi kalau ada yang saya tidak paham langsung ditanyakan. Seperti tema, cawian, dan teknik gradasi warna,” ucap Santosa.

Secara teori, teknik melukis wayang kaca dengan teknik melukis lainnya hampir sama. Hanya saja pada eksekusi yang berbeda. Karena melukis pada kaca Kata Santosa menggunakan teknik cermin.

“Misalnya pembuatan tokoh wayang, kalau di kanvas kan biasa kita membuat sketsa, tapi kalau di kaca, kita berbalik. Karena melukis dari belakang, membuat tangan kanan seperti tangan kiri. Kalau yang beda mungkin untuk kuas dan catnya. Kuasnya harus berbulu lembut dan menggunakan cat minyak,” imbuhnya.

Lukisan kaca |FOTO : RIKA MAHARDIKA|

Untuk tema lukisan, Ketut Santosa sebenarnya sudah mulai melakukan inovasi sejak tahun 1990 an lalu. Ketika itu, Ia melihat pasar lukisan wayang kaca yang sangat terbatas. Hingga kemudian, mulailah berinovasi mulai dari media, hingga tema lukisan. Ia kemudian berinovasi dengan melukis pada gelas, dan beberapa media lainnya. Begitupun juga dengan tema. Tidak terpaku hanya pada tokoh atau cerita pewayangan, namun lebih berbeda seperti bertema sosial atau politik. “Tapi dengan tidak meninggalkan Wayang, dan itu harus tetap dijaga,” ujarnya.

Sebagai generasi ke dua penerus Jro Dalang Diah, Santosa memiliki niat yang besar untuk bisa melestarikan dan mengembangkan seni lukis wayang kaca. Apalagi kini, kesenian dari Desa Nagasepaha yang sudah ada sejak tahun 1927  ini sudah diakui secara Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Ia pun mulai dari lingkungan keluarganya. Bakat itu juga sudah diturunkan kepada Putranya bernama Made Wijana. Kemudian di lingkungan tempat tinggalnya, Ia juga mengajari anak-anak untuk bisa menggambar. Kalau minat mereka meningkat, maka akan diarahkan untuk mengembangkannya ke seni lukis kaca.

Di Lingkungan sekolah juga dikenalkan. Ketut Santosa kini mengajar ekstrakurikuler melukis kaca di SMP Negeri 3 Sukasada.

“Saya berinisiatif mengajak anak-anak sekitar Nagasepaha, untuk meneruskan seni lukis kaca ini. Apalagi sekarang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya. Saya sebagai generasi penerus Jro Dalang Diah harus kuat bertahan, yang harus ditumbuhkan adalah minat mereka untuk mau melestarikan kesenian ini. Sekedar gambar-gambar dulu, kalau serius, barulah dikembangkan lagi,” ujarnya.

Ayah dua anak ini bahkan memiliki sebuah cita-cita untuk membuat sebuah showroom untuk memajang segala hal yang berkaitan dengan Jro Dalang Diah.  “Nanti di tempat itu ada hasil karya Jro Dalang Diah, termasuk juga alat-alatnya yang digunakan melukis, saya sedang berusaha mengumpulkan. Kalau ada kunjungan saya sarankan kesana, semua yang menyangkut tentang Jro Dalang Diah. Itu cita-cita saya,” tutupnya.

Keahlian melukis wayang kaca di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng juga tidak hanya digeluti oleh garis keturunan Jro Dalang Diah, namun juga dilakukan oleh warga lainnya. I Nyoman Netep salah satunya. Pria ini mewarisi keahlian melukis kaca dari Sang Bapak yang belajar secara otodidak melihat keluarga Jro Dalang Diah melukis kaca sekitar tahun 1960 an silam.

Nyoman Netep juga dulunya hanya sekedar melukis, tanpa memperdulikan apakah teori dan teknis yang dilakukannya benar atau tidak. Kesenian itu tidak ditekuninya secara khusus. Hingga kemudian setelah orang tuanya meninggal, sekitar tahun 1987, membangun kembali ingatannya tentang cara melukis kaca.

Mengingat tentang bagaimana teknik penggarapannya, membuat sebuah sketsa, warna, dan berbagai teknik lainnya.

“Saya mulai menekuni, dan mencoba melukis lagi. Mencoba dulu pada kertas, dan berhasil. Beberapa tahun kemudian kita bisa menjual sekitar tahun 1990 an laku Rp10 ribu satu lukisan,” terangnya.

Pria kelahiran 6 November 1960 ini sampai sekarang memutuskan untuk berteman dengan kaca, kuas dan cat minyak. Tetap menekuni bidang sebagai seorang pelukis wayang kaca. Baginya, ini adalah sebuah keahlian khusus, yang tidak mudah dan unik. Apalagi untuk menjadi pelukis wayang kaca, memang harus mengetahui dan mendalami tentang tokoh-tokoh ataupun cerita pewayangan. Karena nantinya itulah yang akan menjadi ide untuk dituangkan menjadi sebuah lukisan.

Biasanya, jika menerima pesanan, Ayah dari tiga orang anak ini memang harus mencari inspirasi berdasarkan hari lahir dari pemesan.

“Harus dicocokan dengan Dewanya, Tokohnya, wukunya kita cocokan, dan kita harus tahu itu termasuk ceritanya. Supaya bisa menerangkan kepada pembeli soal lukisan yang dibuat itu,” ucapnya.

Teknik melukis wayang kaca memang memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Tak ayal memang terkadang dalam menciptakan sebuah karya lukisan ini memerlukan tempat yang khusus. Tempatnya harusnya hening dan jauh dari kebisingan. Sehingga ide akan mengalir untuk dituangkan dalam coretan dan olesan kuas pada kaca.

“Harus sabar dan hening, lebih baik melukis dimalam hari karena membutuhkan ketenangan, dan juga menghadirkan inspirasi. Kalau ada kesalahan kita harus ulang lagi,” tuturnya.

Selama menjadi seorang pelukis wayang kaca, Nyoman Netep mengaku tidak menghadapi kendala. Baik dari segi permodalan ataupun segi pemasaran. Karena selama ini, Ia dibantu putranya khusus untuk pemasaran hasil karyanya.

Satu buah lukisan rata-rata berhasil diselesaikan dalam waktu dua hari saja. Sehingga dalam waktu sebulan, rata-rata Ia bisa menyelesaikan 10 buah lukisan. Itupun tergantung jumlah pesanan yang datang.

“Kalau yang kecil harganya sekitar Rp300 ribuan. Kalau yang besar kisaran Rp1 sampai Rp2 juta. Astungkara tidak ada kendala yang berat. Cuma kalau sekarang mungkin agak sepi saja pemesannya,” kata Netep.

Lalu, bagaimana perhatian Pemerintah Desa untuk eksistensi Seni Lukis Wayang Kaca di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng?

Perbekel Nagasepaha I Wayan Sumeken menyebut jika seni lukis wayang kaca Desa Nagasepaha merupakan kerajinan yang telah diwariskan sejak dahulu sebagai salah satu kearifan lokal Desa Nagasepaha selain juga beberapa kerajinan yang lainnya.

Sampai dengan saat ini, Desa mencatat ada sekitar 15 pelukis yang masih aktif menekuni seni tersebut. Mereka yang aktif merupakan generasi keturunan Jro Dalang Diah, dan juga diluar keturunan almarhum. Jumlah itupun sebutnya sudah berkurang. Karena sebelumnya yang tercatat berjumlah 25 orang.

“Perkembangan pengrajin tidak signifikan, karena mungkin situasi perekonomian. Tahun-tahun belakangan ini, melukis hanya sebagai penghasilan tambahan saja, apa alasannya karena tuntutan ekonomi keluarga. Karena ketika melukis memerlukan waktu yang lama, terlebih pemasaran yang agak sulit. Seniman wayang kaca juga mengambil alih kerjaan yang lain,” jelasnya.

Pihak Desa juga tidak mungkin diam melihat kondisi itu. Bahkan beberapa kali Desa memfasilitasi agar para pengrajin mendapat sentuhan perhatian dari pemerintah Kabupaten Buleleng, maupun dari Pemerintah Provinsi Bali. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana Pemerintah membantu untuk pemasaran hasil lukisan wayang kaca tersebut.

“Tanpa campur tangan pemerintah sulit memasarkan wayang kaca. Keinginan kita tidak hanya dipasarkan di Desa saja, tetapi harus memasarkan hingga ke luar,” ujarnya.

Kedepan, melalui Dana Desa, Pemerintah Desa akan menyiapkan program pemberdayaan masyarakat, salah satunya akan menyentuh seni lukis wayang kaca. Apalagi kini, sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda tingkat nasional.

Nantinya, rumusan programnya akan dicetuskan dalam Musyawarah Desa (Musdes). Seniman lukis wayang kaca akan dihadirkan dalam Musdes, untuk menampung aspirasi mereka. Nantinya dituangkan dalam program kerja yang tersusun dalam APBDes.

“Pelestrian ini wajib dilakukan, supaya pengrajin tetap bisa beraktivitas, berkarya dan hasilnya bisa dijual untuk memenuhi perekonomian mereka,” tegas Sumeken.

Upaya untuk pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan Seni Lukis Wayang Kaca pasca ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda memang harus dilakukan secara bersinergi, antara Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten Buleleng.

Di Tingkat Kabupaten, Dinas Kebudayaan Buleleng memiliki misi untuk melestarikan keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional Lukisan Kaca. Sehingga, warisan tradisional inipun diusulkan hingga kemudian ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda tingkat Nasional. Dimana penetapannya dilakukan oleh Tim Ahli WBTB Kemendikbud RI secara virtual pada Jumat, 9 Oktober 2020 lalu.

Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Dody Sukma Oktiva Askara menyebut jika seni lukis wayang kaca memiliki ciri khas tersendiri. Dimana di Buleleng satu-satunya sebuah kesenian tercipta secara turun temurun dan masih bertahan sampai dengan saat ini. Bahkan, pelaku kesenian itu sendiri sudah melakukan sejumlah inovasi pada tatanan motif lukis tradisional ke kontemporer.

“Tentu ini menjadi spesifik ada potensi di Buleleng harus kita angkat dan tumbuh kembangkan dari sisi perlindungan, pemanfaatan, dan pelestariannya, sehingga diusulkan menjadi WBTB. Dan bersyukur sudah ditetapkan,” ujarnya.

Sebelum diusulkan, DInas Kebudayaan pun sudah melakukan pendataan dan kajian, sebagai upaya tindak lanjut nantinya, terutama menyangkut tentang media kaca sebagai bahan untuk lukisan. Dari kajian yang dilakukan, para pelukis juga harus bisa berinovasi untuk bisa memperluas target pemasaran.

Kita akan lakukan program wayang kaca, sudha koordinasi dengan senimannya untuk kita melihat situasi pandemic, bagaimana kalau zona memungkinkan kita laksanakan pameran dan workshop untuk lebih mengenalkan kembali dikalangan masyarakat.

“Hasilnya kita lihat, ternyata sudah mengarah ke hal yang bersifat souvenir. Kita mengembangkan lagi kreasi mereka, untuk menyerap ke pasar, kita variasikan bahan dan media kaca yang akan digunakan dan kita arahkan bersifat souvenir untuk bisa diserap pasar. Untuk souvenir Buleleng bisa dimanfaatkan ketika melakukan kunjungan kerja ke luar daerah atau sebaliknya, ini bisa kita berikan,” kata Dody.

Tidak hanya pada sisi pemasaran, upaya pelestarian juga wajib dilaksanakan, terutama kepada generasi muda Buleleng. Dody Sukma pun menyadari jika kesenian melukis terlebih seni lukis wayang kaca ini memang harus memiliki talenta khusus. Namun tidak menutup kemungkinan, kesenian ini bisa dipelajari, sebagai upaya regenerasi pelukis.

“Ditahun 2021 mendatang untuk lebih banyak dari sisi pengembangan supaya generasinya tidak putus. Pakemnya tetap wayang kaca Nagasepaha walaupun pelukisnya dari luar desa. Ini pengakuan perlindungan secara hukum hak paten inilah pakem wayang kaca dari nagasepaha, walaupun pelukisnya dari luar desa Nagasepaha,” tegas mantan Camat Buleleng ini.

Kemudian dari sisi pembinaan, bantuan permodalan, hingga promosi dan pemasaran, Pemerintah Kabupaten Buleleng memiliki Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Buleleng. Ketika Seni Lukis Wayang Kaca ini sudah ditetapkan sebagai WBTB, maka ini pun akan menjadi potensi unggulan Buleleng.

Menurut Kepala Disdagperinkop UKM Buleleng Dewa Made Sudiarta, walaupun Seni Lukis Wayang Kaca Desa Nagasepaha ini terkait dengan aktivitas seni, namun harus tetap menjaga kualitas, branding produk, termasuk hak paten tanpa harus meninggalkan kearifan lokal.

“Yang terpenting promosi pemasaran. Kita sedang mengembangkan pemasaran digital, dan wayang kaca salah satunya bisa kita akses kesana,” ungkapnya.

Selain promosi dan pemasaran, kedepan yang harus menjadi perhatian juga adalah bantuan untuk pelaku seni itu sendiri. Bantuan yang dimaksud bukan hanya dari sisi permodalan, namun juga dalam bentuk pembinaan rutin, termasuk pendampingan untuk penguatan produk unggulan agar bisa menjadi branding Buleleng.

“Program stimulan dari Pusat sangat banyak, malah ada perpanjangan waktu. Kita akan fokuskan kepada pelaku yang masih produktif, kita akan usulkan untuk mendapatkan dan kita fasilitasi untuk mendapatkan,” Kata Dewa Sudiarta.

Sementara untuk pameran, di tengah situasi pandemic COVID 19 saat ini, memang belum memungkinkan untuk dilaksanakan dengan menghadirkan langsung masyarakat untuk melihat hasil karya tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bisa dilaksanakan secara virtual.

“Kalau ada event itu kita akan fokuskan untuk dapat ruang sebagai promosi. Sangat efektif, pameran itu untuk menjadikan produk terkenal, bisa dikenal tidak hanya tingkat daerah, nasional, bahkan hingga internasional,” pungkas Dewa Sudiarta.

Pewarta : Putu Rika Mahardika

Editor     : I Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts