Pak Guru Tani

Ada satu fenomena dunia guru yang luput dari hingar-bingar persoalan atau isu pendidikan. Hal ini berkaitan dengan penyelenggaraan terutama pendidikan SD di desa-desa dan beberapa SMP. Pemerintah pada akhirnya mengubah kebijakan penempatan guru SD, kala itu 1980-an, dengan mengangkat guru putra daerah. Guru-guru SD yang didatangkan dari seluruh Bali, sebagaimana kebijakan awal pengangkatan guru pentolan SGB pada awal kemerdekaan, yang membawa angin modernisasi pendidikan di desa-desa di pegunungan Bali kala itu; dinilai tidak relevan karena mereka tidak betah tugas di desa-desa yang masih terpencil.

Sejak itu, guru-guru SD adalah tamatan-tamatan sekolah guru (SPG, PGAH, atau PGSD) yang berasal dari desa atau daerah setempat. Serta, guru-guru yang diizinkan mutasi kerja, memilih tempat tugas baru di desanya sendiri. Sistem pengangkatan guru ini memiliki maksud, pemerintah memberi tugas atau tanggung jawab lebih kepada guru putra daerah dalam pelayanan pendidikan sehingga anak-anak desa mendapatkan hak-hak pendidikan, sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Indonesia, mencerdaskan kehdupan bangsa.

- Advertisement -

Ada cerita yang sungguh sangat menarik disimak sehubungan dengan satu dimensi sosiologis profesi guru, terkait dengan tempat tinggal dan tugas mereka di pedesaan dan bekerja di sekolah-sekolah dasar di desa. Mereka dapat melakukan tugas professional dengan baik tanpa mengurangi keterlibatan di dalam rutinitas kegiatan adat di desa yang sering tidak bisa ditawar dan kurang memperhatikan agenda-agenda nasional negara, seperti pendidikan. Guru desa lebih diuntungkan karena tetap dapat memenuhi tuntutan menyama braya.

Mereka sangat mudah mengatur waktu dan sudah biasa mengorbankan kegiatan mengajar dengan alasan kundangan. Hal ini menjadi hal yang masuk akal karena pengawasan terhadap operasionalisasi kegiatan sekolah di desa-desa yang sebenarnya tidak terlalu jauh, sangat lemah. Anak-anak sering dikorbankan karena guru-guru mereka harus memenuhi tugas-tugas sosial budaya di desa. Sudah menjadi pemandangan biasa, sekolah sepi atau kurang bergairah berkegiatan belajar ketika suatu desa menyelenggarakan upacara yang sering kali memakan waktu yang lama.

Hal lain yang juga sangat menarik, terkait dengan guru desa adalah kisah hidup mereka yang nyambi sebagai petani. Guru-guru desa tetap dapat bekerja tani sepulang sekolah atau ketika hari libur. Menjadi petani bagi mereka adalah salah satu jalan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pada umumnya, guru-guru desa memiliki tanah garapan warisan orang tua mereka. Ketika bekerja di desa, mereka menggarap tanah dan hasilnya digunakan untuk memenuhi aneka kebutuhan sehari-hari. Hasil tahunan seperti cengkeh, kopi,  bisa dikatakan “aman”. Jadi tabaungan karena guru tidak  menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka telah memiliki gaji. Dalam pola ekonomi yang demikian, guru-guru akan mulai memiliki tabungan dan digunakan untuk memperluas lahan dengan menggadai atau bahkan membeli. Bahkan untuk hal ini guru bisa menggunakan fasilitas kredit yang ditawarkan oleh bank.

Ketika guru menerima tunjangan sertifikasi, kesejahteraan guru desa sangat mencolok. Struktur ekonomi mereka juga semakin kuat. Mereka membangun rumah, membeli kendaraan, mungkin juga membungakan uang, dan tentu saja menyekolahkan anak-anak mereka. Pada umumnya, anak-anak desa yang terjamin akan mendapat pendidikan di universitas, untuk saat ini, adalah anak-anak guru desa.

- Advertisement -

Maka cerita selanjutnya adalah, bagaimana kehidupan guru tani di antara kerja profesional dan sosial sehari-hari di desanya? Yang pasti dengan penambahan infrastruktur ekonomi, dengan perluasan pemilikan tanah dan tuntutan peningkatan hasil panen, maka perhatian guru akan terbagi. Mengajar sebagai profesi resmi yang terbayar mahal tidak lagi menjadi suatu fokus utama. Maka keadaan ini menimbulkan stagnasi professional di kalangan guru tani di desa-desa.

Pikiran guru bercabang antara mengajar di sekolah dan kerja di kebun. Waktu sepulang kerja sangat berharga bagi guru karena digunakan sehabis-habisnya untuk bekerja di kebun atau di sawah. Itu waktu untuk mengurus juga aneka ternak dalam sistem tumpang sari yang dikembangkannya. Karena itulah, mereka sangat berkeberatan ketika ada wacana full day. Tidak hanya keberatan soal full day, guru tani desa juga sangat keberatan jika ada kegiatan-kegiatan sekolah mengambil waktu sore hari. Lebih keberatan lagi bagi mereka ketika harus meninggalkan desa untuk mengikuti berbagai pelatihan. Maka pilihan mereka adalah bukan pengembangan profesi bagi kemajuan pendidikan anak-anak desa mereka, tetapi lebih baik tidak ikut karena kebun dan sapi-sapi tidak bisa ditinggalkan.

Lantas, jika guru semacam ini harus berurusan dengan inovasi pembelajaran, pengembangan HOTS (berpikir aras tinggi), penelitian, pembelajaran daring, inovasi media pembelajaran, dll. tidak bisa diharapkan. Inilah struktur sosial kehidupan yang menghambat peningkatan mutu guru di desa-desa. Lambat laun mutu pendidikan di desa-desa itu menyurut. Hal ini terjadi  sudah tentu karena motor penggerak utamanya tidak melakukan perubahan-perubahan yang inovatif. Mereka melayani generasi baru di desa-desa itu, sebagai siswa, dengan cara-cara dan visi pendidikan yang sudah ketinggalan zaman. Pendidikan di desa pun sedemikian rupa, berjalan dalam rutinitas yang stagnan.

Sebuah foto sahabat guru yang diunggah di media sosial facebook menggambarkan ia sedang panen cengkeh. Dangul atau tangga yang digunakan untuk memudahkan proses panen bunga cengkeh yang ranum itu, membawanya jauh ke pucuk pohon. Sesungguhnya foto yang sangat indah ketika kemarau awal Juni, dengan sedikit hujannya (hujan bulan Juni), mulai mematangkan bunga-bungan cengkeh atau memasak biji kopi di perkebunan pegunungan Bali. Sementara itu, foto-foto indah seperti ini selalu berlatar langit biru kemarau, laut Bali di utara, atau pegunungan itu sendiri yang berada sangat dekat.

Namun menjadi hal yang ironis, ketika pandemi masih melanda, guru-guru kita yang bekerja di desa, apakah melakukan sedikit ikhtiar kemanusiaan yang lebih bagi siswa-siswa mereka? Ataukah mereka menikmati pembelajaran suasana pendemi sebagai bonus waktu yang melimpah? Dengan bonus waktu ini mereka bekerja di kebun atau di sawah meningkatkan produktivitas. Pembelajaran daring, ah nanti dulu! (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali, Redaktur Bahasa koranbuleleng.com)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts