Kampung Baru, Dunia Kecil Yang Multikultur

Singaraja, koranbuleleng | Jembatan tua itu masih kokoh. Warna putih, berdiri tegak di sebelah timur Pelabuhan Buleleng.

Jembatan dengan ciri khas lengkungan dan Pelabuhan Buleleng ini adalah sejarah yang masih bisa dinikmati generasi kini di Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng. Bangunan tersebut dibangun oleh para kompeni yang dulu ingin menguasai Indonesia.

- Advertisement -

Lokasinya di Kelurahan Kampung Baru, Singaraja. Namun, lebih popular dengan nama sebutan Kampung Tinggi. Baik nama kampung Baru atau nama Kampung Tinggi adalah nama yang unik. Sebagai kelurahan dengan nama Kampung Baru, namun wilayah ini adalah wilayah tua, sebagai salah satu sudut kota tua di Singaraja. Lalu soal nama Kampung tinggi, padahal tempatnya juga rendah mirip cekungan.Tapi begitulah, wilayah ini menjadi khas dari berbagai sudut pandang. Aliran tukad Buleleng membelah wilayah padat penduduk ini lalu bermuara di Pelabuhan Buleleng.

Ciri khas yang lain adalah, kelurahan Kampung Baru ini sebenarnya menjadi etalase mini atau dunia kecil untuk kehiudpan keberagaman yang maha bahagia. Disini hidup warga dengan berbagai etnis.  Keberagaman etnis di daerah Kampung Baru memberikan bukti bahwa Buleleng adalah etalase mini keberagaman Indonesia.

Kampung Baru merupakan salah satu wilayah kelurahan di Kabupaten Buleleng yang terdiri dari enam lingkungan diantaranya sebelah selatan terdiri dari lingkungan Kebonsari, Widyasari, Sekarsari, sedangkan di sebelah utara terdiri dari lingkungan Tamansari, Barunasari dan Tambaksari, dengan beberapa etnis mulai dari Hindu, Islam, Budha, dan Konghucu. Meskipun terkadang orang menganggap wilayah ini kumuh, tapi siapa sangka kehidupan masyarakat di wilayah ini sangat harmonis.

Kehidupan di kelurahan Kampung Baru dikatakan sangat rukun dan damai sejak dari jaman Sunda Kecil, ini diungkapkan oleh Nyoman Astawa Sekretaris Kelurahan Kampung Baru. Meskipun banyak perbedaan, masyarakat tidak pernah ada masalah satu sama lain. Dikatakannya bahwa masyarakat yang ada di wilayah kampung baru memiliki toleransi yang sangat tinggi.

- Advertisement -

“Masyarakat dari dulu sudah saling hidup rukun dan damai, tidak pernah ada permasalahan disini, ketua lingkungan juga selalu kita kordinir jadi aman-aman saja” ujar Astawa.

Astawa juga menyebutkan bahwa masyarakat yang ada di wilayah Kampung Baru terdiri dari masyarakat asli dan juga pendatang.

“Kalau Kebonsari sama Widyasari mereka penduduk asli dari dulu yang datang dari Karangasem, di Tamansari sama Barunasari di sana banyak warga muslim biasanya dateng dari Jawa, di Tambaksari banyakan orang Budha sama Konghucu, sedangkan Sekarsari seimbang tapi disini kita lebih mayoritas Hindu, tapi kami selalu berbahagia” terang Astawa

Tingginya nilai toleransi di wilayah Kampung Baru bisa dilihat dari aktivitas masyarakat dan saat ada perayaan Hari Raya umat beragama.

Astawa menuturkan umat non Hindu akan selalu ikut memeriahkan Hari Raya Nyepi yang digelar oleh umat Hindu. Sedangkan jika saat Idulfitri biasanya umat Islam akan membagikan makanan atau mengundang tetangganya dan memberikan makanan khas idulfitri seperti kue kering, begitupun juga pihak Budha dan Konghucu selalu memberi ampao pada anak-anak di sini.

“Ya, saya dari kecil sudah di sini, banyak teman saya Hindu sama Budha biasa kalau temenan ga pernah milih-milih teman, kadang kalau hari raya, saya paling bersemangat karena bisa saling memberi.” cerita Sarinadi salah satu warga Kampung Baru.

Sarinadi tinggal bertahun-tahun di Kampung Baru. Tempat tinggalnya sudah menjadi kampung tersnediri baginya. Keragaman di sekitarnya adalah perbedaan yang indah, menurutnya. Sehingga kehidupan sehari-hari di lokasi tempattinggalnya seakan tidak ada perbedaan. Semua menyatu menjadi pergaulan sosial yang sangat baik.

Salah satu masyarakat lingkungan Widyasari, Wayan Metri juga menuturkan bahwa ia merupakan seorang pendatang dari Tabanan ke wilayah ini dari tahun 1940 ketika umurnya masih muda untuk mencari pekerjaan. Ia juga menuturkan bahwa dulunya wilayah ini begitu jaya dalam bidang perekonomian terutama perdagangan.

“Saya dulu jadi buruh tepung di Kebonsari dan sebelum nikah, pacar saya dia kerja jadi buruh di pelabuhan, biasa kalo kapal-kapal dateng kedengeran sampai di rumah, nanti masyarakat langsung dah ke pelabuhan” ujar Metri

Eksistensi keberagaman masyarakat di kelurahan Kampung Baru saat ini tidak terlepas dari masa lalu ketika adanya penjajahan oleh pihak Belanda.  Hal ini diungkap oleh Desak Oka Made Purwati, M.Hum salah satu dosen koordinator Pendidikan Sejarah di Universitas Ganesha

Ia menuturkan setelah Belanda menguasai negara jajahan, agar memudahkan pihak Belanda mengontrol wilayah jajahannya beberapa pelabuhan-pelabuhan tradisonal yang sudah berkembang sejak jaman kerajaan di moderisir karena Belanda membangun maskapai pelayaran di wilayah jajahannya yang di sebut KPM ( Koninklijke Paketvaart Maatschappij).

Pelabuhan Buleleng dibangun pada tahun 1898 setelah wilayah Bali Selatan di kuasai oleh pihak kolonial dan Pelabuhan Buleleng menjadi pelabuhan transit dan terbesar di Bali.

“Buleleng terkenal dengan ekspor sapi dan babi Bali ke wilayah Barat, kalau di timur kita juga menjadi tempat transit dari kapal-kapal kuda Sumbawa, Flores, dan produk-prduk timur seperti Cendana.” tutur Desak Oka

Desak Oka juga menuturkan intensitas yang tinggi dari sistem perdagangan yang dibuat oleh Belanda ini menarik orang-orang luar yang berkiprah menjadi pedagang untuk tinggal di sekitar pelabuhan, inilah mengapa masyarakat di sekitar pelabuhan salah satunya Kampung Tinggi memiliki masyarakat yang multikultur dan multietnis.

Pelabuhan Buleleng mengalami kemunduran sejak jaman Jepang karena dimonopoli oleh Jepang untuk kepentingan perang pada tahun 1942. Awal kemunduran drastis perekonomian Singaraja terutama Pelabuhan Buleleng tidak lagi aktif sejak adanya pemekaran provinsi Sunda Kecil antara Bali, NTT, dan NTB pada tahun 1958 dan Ibu kota dipindah ke Bali Selatan yaitu Denpasar.

Karena itulah gedung-gedung di pelabuhan itu menjadi bangunan tua serta sisa artefak-artefak yang sudah tidak berfungsi lagi menjadi jejak sejarah, dan salah satu terminal Kampung Tinggi yang berganti nama menjadi Taman Soenda Ketjil.telah beralih fungsi menjadi pusat kuliner dan penghidupan masyarakat.

Pewarta : Nopi Puspa

Editor  : I Putu Nova A. Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts