Cegah Anak Berprilaku Porno, Arahkan Kegiatan Positif

Singaraja, koranbuleleng.com| Kemunculan video persetubuhan anak, yang melibatkan empat pria remaja dan satu perempuan menjadi fenomena tak biasa. Mereka semua masih dibawah umur dan masih duduk di bangku SMP di Buleleng. Kemunculan video itu menandakan perubahan prilaku moral yang teramat menyimpang. 

Apa yang salah dalam kasus ini? apakah kesalahan mereka sebagai generasi penerus yang hidup dikarenakan kemajuan jaman yang tak terbendung oleh hiruk pikuk yang tidak karuan? Menembus segala batas dunia maya. Internet kini begitu gampangnya diakses, murah dan di dalamnya tersiar berbagai propaganda yang mampu meracuni pikiran anak-anak dan remaja, termasuk bebasnya menonton seks bebas. Tontonan itu lantas diikuti.

- Advertisement -

Kemunculan kasus tersebut memang sudah sangat menyedihkan. Karena mereka masih anak-anak yang masih punya masa depan panjang.

Dari kacamata psikolog, Dewa Gede Firstia Wirabrata, M.Psi., Psikolog., memandang kejadian pornografi yang dilakukan oleh anak di bawah umur murni dipengaruhi oleh lingkungannya, termasuk lingkungan media sosial. Akibat maraknya media sosial, anak-anak lebih cepat dewasa yang tidak sebanding dengan usianya. Konten-konten yang ditayangkan di sosial media seharusnya belum boleh mereka konsumsi, namun mereka sudah mengkonsumsinya.

Ketika anak-anak di bawah umur menonton konten-konten yang punya vibrasi negatif, mereka belum cukup mampu untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Apalagi anak-anak sudah cukup akrab dengan penggunaan fitur-fitur dalam handphone dan media sosial. Anak-anak yang sudah dicekoki dengan video-video porno yang tersebar di internet, akan mulai penasaran dan mempraktikan apa yang mereka tonton walaupun mereka tidak paham apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak.

Sangat penting untuk menggalakan kembali pendidikan seks untuk anak-anak di bawah umur. Pendidikan seks bukan mengajarkan anak-anak tata cara untuk melakukan hubungan seks, namun lebih kepada pemahaman peran laki-laki dan perempuan serta batasan-batasan tertentu yang dilakukan dalam bergaul. Setiap elemen memiliki peran untuk hal tersebut, seperti dari orang tua, guru di sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Pola asuh orang tua juga mengambil peran penting di dalamnya. Anak yang di bawah umur umumnya semakin dilarang maka akan semakin penasaran dan ingin mencoba. Kontrol yang tepat diberikan kepada anak adalah dalam bentuk edukasi dan pemahaman.

- Advertisement -

“Saat ini sangat sulit untuk mengontrol anak menggunakan media sosial karena hal tersebut sangat mudah diakses. Kita hanya bisa memberikan edukasi kepada anak agar bijak memakai media sosial. Hanya saja, pertanyaannya sekarang mengapa anak-anak cenderung meniru hal-hal yang negatif di media sosial. Itu karena perilaku negatif lebih menyenangkan dilakukan, namun akibatnya sangat buruk.” ujar Dosen Bimbingan Konseling Undiksha tersebut.

Dalam upaya pendampingan bagi anak-anak yang bermasalah yaitu tidak boleh menempatkan mereka sebagai penjahat. Anak di bawah umur yang masih labil mungkin saja keliru dengan hal tersebut. Psikolog biasanya mendampingi korban maupun pelaku yang di bawah umur sebagai seorang teman, sehingga dia mau bercerita faktor penyebab dia melakukan hal tersebut. Mungkin saja mereka melakukan hal tersebut karena ingin diakui oleh kelompoknya dan menjadi euforia untuk mereka.

“Pesan untuk generasi muda, akselerasi teknologi harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Sama halnya dengan memvideokan dan membagikan sesuatu di sosial media juga perlu dipilah. Generasi muda harus dibentengi dengan karakter sehingga tidak salah kaprah dalam memanfaatkan teknologi.” pungkas Dewa Firstia

Sementara dari pandangan hukum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Panji Sakti, Dr. I Nyoman Gede Remaja, S.H.,M.H., menjelaskan dari konteks hukum kejadian asusila yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Buleleng tidak hanya sekali terjadi. Ini menjadi masalah yang cukup serius terutama bagi pemerintah daerah, yang semestinya sudah turun tangan terhadap permasalahan tersebut. Ditambah, Pemerintah Kabupaten Buleleng sudah memiliki PERDA tentang Perlindungan Anak dan Perempuan. Pemerintah harus segera menanganinya terutama dalam hal pencegahan tindakan asusila.

Dalam ilmu kriminologi, Gede Remaja memaparkan terjadi kejahatan tidak hanya melihat dari sisi perbuatannya serta pasca perbuatan tersebut dilakukan. Namun hal terpenting yang perlu dicermati adalah sebelum perbuatan tersebut dilakukan serta faktor-faktor yang mempengaruhi perbuatan tersebut dilakukan. Terkait dengan ‘kenakalan remaja’ yang kerap terjadi bukan murni karena perbuatan seorang anak.

Ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan, seperti faktor lingkungan dan pranata sosial. Faktor luar tersebut jika lemah dan tidak mampu membentengi anak, maka perbuatan asusila yang dilakukan oleh anak murni karena kurangnya pengawasan. Apalagi masa anak-anak sampai remaja adalah masa kritis yang mulai mempertanyakan tentang banyak hal, mulai mencoba-coba, dan mulai mencari jati diri.

Makanya, dalam konteks hukum pidana, anak-anak yang berada di bawah usia 20 tahun melakukan tindak kejahatan, tidak diberikan hukuman yang terlalu berat. Mereka dianggap melakukan tindak kejahatan tidak berada dalam tingkat kesadaran yang tinggi dan masih dalam kondisi labil. Anak memperoleh perlakuan khusus dalam hukum, yang penanganannya tidak sama dengan orang dewasa.

“Berdasarkan permasalahan yang terjadi di Tejakula, karena saya tidak melakukan penelitian secara langsung jadi saya tidak tahu faktor-faktor yang menyebabkan terjadi hal tersebut. Saya sebagai akademisi hanya bisa menjelaskan secara teori dari sisi hukumnya. Terkhusus untuk masalah seksual saat ini masih sangat tabu di masyarakat. Walaupun orang tua tahu kalau anaknya melakukan tindakan seksual bahkan menjadi korban pelecehan seksual, mereka lebih memilih menyembunyikannya karena itu akan menjadi aib keluarga.” terang Gede Remaja.

Pendampingan hukum yang tepat terhadap anak yang melakukan tindakan kejahatan, diperlukan beberapa aspek yang mendukung. Seperti penyediaan ruangan yang memadai, pendampingan psikolog, dan Badan Pengawas Anak. Karena dalam terjadinya kasus pornografi di Tejakula dilakukan denga rasa suka sama suka, jadi tidak ada unsur tekanan di dalamnya.

Namun yang perlu menjadi perhatian adalah, ketika kasus tersebut dilaporkan, akan menimbulkan tekanan psikologis, seperti ketakutan dan trauma terhadap anak. Maka dari itu, perlu ada pendampingan oleh psikolog sebelum adanya pemeriksaan. Bahkan selama pemeriksaan juga perlu didampingi oleh Badan Pengawas Anak atau LSM yang membidangi perempuan dan anak.

Perlakuan yang serupa juga diberikan pada pelaku, karena masih berada dalam kategori anak-anak. Ada dua asumsi yang menjadi dasar perlakuan khusus untuk anak yang melakukan kejahatan, yaitu anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dijaga dan juga anak belum memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam melakukan tindak kejahatan.

“Sanksi yang diberikan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak, bisa berupa pidana maupun tindakan. Pidana akan diberikan jika kejahatan yang dilakukan secara berulang-ulang kali. Sedangkan sanksi tindakan berupa pembinaan terhadap anak baik dibina langsung oleh orang tua maupun dibina oleh Dinas Sosial. Sanksi hanya bisa diberikan jika sudah diputuskan oleh pengadilan.” jelas Gede Remaja.

Gede Remaja menambahkan, upaya untuk mencegah adanya kejadian yang serupa yaitu semua elemen berperan untuk tidak mempertemukan antara niat dengan kesempatan. Maksudnya adalah, upaya pertama yang dilakukan untuk menghentikan niat generasi muda untuk melakukan hal senonoh, mulai dari pendidikan dan pendampingan oleh orang tua, mengarahkan anak ke kegiatan positif, memperdalam ajaran-ajaran agama kepada anak, dan memberikan edukasi seksual sejak dini untuk anak-anak. Namun, jika langkah untuk menghentikan niat tidak berhasil, maka perlu menghilangkan kesempatan untuk melakukan tindakan asusila tersebut. Upaya menghilangkan kesempatan bisa dilakukan dengan adanya sinergitas pengawasan ketat yang dilakukan oleh sekolah maupun masyarakat. Sekolah, desa adat, maupun desa dinas bisa menciptakan regulasi yang mengatur agar kesempatan-kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dapat dihindarkan.(*)

Pewarta : Ni Luh Sinta Yani

Editor  : I Putu Nova A. Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts