Knowledge Is Power, Kaweruhan adalah Senjata

Dengan adanya hari “tumpek” dan Saniscara Umanis wuku Watugunung dalam kalender Bali, menjadi dasar kesadaran bahwa hidup didasari oleh teknologi (yang diwakili oleh segala perlatan yang tajam dan terbuat dari logam, tumpek landep); bergantung kepada sumber pangan (tumbuhan yang diwakili oleh pohon berbuah, tumpek pengarah, pengatag, bubuh); membutuhkan tenaga dan daging hewan (diwakili oleh sapi dan babi, tumpek uye), kesenian (diwakili oleh wayang kulit, tumpek wayang); dan ilmu pengetahuan (Dewi Saraswati, hari suci Saraswati).

Khusus untuk hari suci Saraswati, tidak disebut tumpek, seperti halnya dengan pertemuan hari kliwon dan saniscara yang lainnya. Hari Saniscara Umanis Watugunung yang jatuh pada Sabtu (26 Maret 2022) disebut dengan Hari Suci Saraswati. Ini dirayakan oleh warga masyarakat yang bergelut dalam bidang ilmu pengetahuan (siswa, guru, mahasiswa, dosen).

- Advertisement -

Aksara yang digunakan untuk menuliskan berbagai khazanah pengetahuan dan ilmu amat dihormati. Aksara itu bersemayam setelah diguratkan pada lembaran-lembaran lontar dan buku-buku kertas. Ini alasannya, mengapa pada hari raya Saraswati, buku diberi banten dan disucikan. Buku dijadikan episentrum doa atau mantra pemujaan kepada Dewi Saraswati, yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan yang tiada terbatas, dalam tiga domain: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Pada tumpek-tumpek sebelumnya, sejak di awal siklus pawukon, peralatan yang terbuat dari besi atau logam, tumbuhan buah-buahan, sapi atau babi, dan wayang kulit adalah episentrum juga dalam berbagai perayaan hari tumpek.

Pada siklus enam bulanan tersebut, sebagai konstruksi waktu kosmis yang seperti putaran cakra skala kecil, diawali dengan kesadaran bahwa hidup mesti didasari oleh perlatan yang kuat dan tajam. Ini adalah tafsir teknologis yang pragmatik dan mereduksi tafsir-tasir soal tumpek landep yang terlampau semiotis karena dikaitkan dengan pikiran. Dilanjutkan dengan kesadaran bahwa hidup membutuhkan kayu dan protein nabati. Kesadaran hidup bahwa manusia perlu bantuan tenaga hewan dan protein hewani (serta hewan-hewan korban dalam buta yadnya) maka dirayakanlah tumpek uye, dedikasi tertinggi kepada wewalungan (hewan peiharaan  yang bertulang besar dan kuat). Kesadaran kehidupan manusia bergerak ke tingkatan yang semakin tinggi sebagaimana paradigm dalam segitiga Maslow, yakni kesenian dibutuhkan untuk membentuk karakter dan memperhalus budi dengan pesan-pesan moral, lewat tumpek wayang yang sejatinya adalah konstruksi kesadaran akan peran penting kesenian dalam kehidupan manusia dan masyarakat bangsa.

Yang mengejutkan adalah, perayaan Hari Suci Saraswati ada pada urutan terakhir dalam siklus atau ada di posisi “puncak” siklus enam bulanan pawukon. Hal ini menandakan bahwa ketika semua kebuthan hidup manusia sudah terpenuhi dengan baik, secara teknologi, pangan dan pertanian, peternakan, menuju ke taraf keindahan, maka sampailah pada kebutuhan hidup yang paling tinggi, yakni ilmu pengetahuan atau filsafat.

- Advertisement -

Peralatan yang dibuat dari besi baja dan runcing atau tajam, hewan dan tumbuhan adalah hal yang basis dalam konstruksi kesadaran Bali. Hal ini setara dengan konsep filsfat ekonomi Marxis. Yang menjadi basis atau dasar masyarakat adalah ekonomi atau produksi barang dan jasa untuk memenuhi keperluan fisik dan biologis manusia. Dengan kata-kata sederhana, Karl Marx menyatakan bahwa yang pertama harus dipenuhi adalah perut lapar dan setelah itu baru puisi atau musik dan filsafat atau agama.

Dalam siklus tumpek di antara senjata, tumbuhan, dan hewan, ada tumpek “transisi” antara yang basis dan yang tertinggi (pengethauan), yakni kesenian. Orang Bali mengkonstruksi keberadaan seni ada di antara ranah ekonomi dan ranah pengetahuan. Karena itu, kesenian di Bali memiliki fungsi pergaulan, profan dan bebabi. Kesenian adalah jembatan kehidupan basis ekonomi produksi dan taraf puncak kebutuhan manusia, yakni ilmu pengetahuan.

Siklus empat tumpek dalam pawukon adalah konstruksi kebutuhan manusia atau kebutuhan hidup dalam keberlangsungan sejarah. Manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi (yang maknanya berkembang semakin luas sejalan dengan kemajuan teknis), hewan dan tumbuhan, tumbuhan, kesenian, dan ilmu pengetahuan.

Karena hari ini adalah perayaan Hari Suci Saraswati, esai ini fokus kepada hakikat perayaan ini. Perhatian dan penghormatan masyarakat Bali sejak zaman dahulu terhadap ilmu pengetahuan (kaweruhan) tidak dapat diragukan lagi. Pengetahaun ditulis dengan berbagai tipe aksara di atas daun lontar. Salah satu wujud penghormatan terhadap pengetahuan atau kaweruhan adalah pemujaan dan adanya berbagai ritual untuk aksara.

Kalau Foulcault mengatakan bahwa knowledge is power, di Bali juga dikenal ungkapan yang jauh lebih tua sebelum itu, yakni pengetahuan itu adalah senjata (lagu Saking Tuhu Manah Guru). Manfaat terbesar kaweruhan adalah seperti “perabot” atau perlatan hidup untuk memperoleh  merta (kebutuhan hidup).

Karena sedemikian tinggi nilai dan guna praktis ilmu pengetahuan atau kaweruhan sebagai senjata untuk memperoleh segala kebutuhan hidup manusia, sistem kasta di Bali rupanya dimanfaatkan oleh suatu kelompok masyarakat melakukan klaim penguasaan, dominasi, dan hegemoni terhadap ilmu pengetahuan atau kaweruhan itu atas nama sistem warna. Bahwa hak menguasai pengetahuan hanyalah ada pada warna atau kasta tertentu. Merekalah yang kelak menjaga dan berwenang penuh untuk mempelajari dan membaca serta menggunakan berbagai pengetahuan. Memang benar, pengetahuan di Bali sangat mahal dan kebutuhan terhadap pengetahuan itu yang banyak diwujudkan dalam sistem upacara harus dibeli pada kasta tertentu.

Spirit Saraswati tentu saja bukan pada semiotikanya tetapi pada pemahaman terhadap filsafat ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetauan apapun itu ada dalam tiga tataran mutlak, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pandangan Faulcault knowledge is power  dan pandangan kaweruhan adalah senjata, lahir dari tataran aksiologi. Pada aksioligi-lah pertarungan itu terjadi karena di sini berkah ilmu pengetahuan berpeluang besar menimbulkan ketidakadilan. Yang mana dikritik tajam oleh Albert Einstein ketika berpidato di hadapan mahasiswa Institut Teknologi California (1938).

Memang ilmu sangat berpeluang untuk menciptakan ketidakadilan secara aksiologi. Yang bisa menanggulangi ketidakadilan itu hanyalah para ilmuwan sebagaimana yang diberi penekanan oleh Einstein. Pada hari suci Saraswati membaca kembali bagian akhir pidato Albert Einstein dalam keheningan segala doa, untuk mengenang kembali para ilmuwan dunia yang telah menghabiskan hari-hari indah dalam hidupnya:

Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian pada masalah besar yang tak kuntjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda- agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan. (*)

Penulis :  Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts