Upanayana, Momen Penyucian Lahir Batin

Singaraja, koranbuleleng.com| Sedari pagi hari, Mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan sudah berdatangan Sabtu, 26 Maret 2022 lalu. Mahasiswa yang hadir bertepatan dengan Hari Raya Saraswati itu akan menjalani Upanayana. Sebuah ritual penyucian secara niskala sebagai seorang mahasiswa.

Mereka menjalani prosesi penyucian yang diawali dengan ritual merajah aksara suci. Mahasiswa dirajah dengan menggunakan sarana berupa sirih dan madu di beberapa bagian tubuhnya sebagai simbol penyucian.

- Advertisement -

Bagian tubuh yang dirajah adalah diantara kedua kening dengan aksara suci Yang, di bagian dada dengan aksara suci Dang, di tunggir dengan aksara Bang, di telapak tangan dengan aksara suci Tang, di tengah lidah dengan aksara suci Ing dan di ujung lidah dengan aksara suci Ong

Selesai merajah atau menuliskan aksara-aksara suci itu, Sulinggih yang memimpin Upanayana kemudian menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung, Mang dan pada lekesan sirih dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa. Setelah ditulisi lalu dimantrai.

Selain dirajah dengan aksara suci, mahasiswa juga menjalani ritual Mejaya-Jaya dan pemasangan Sirowista. Ritual mejaya-jaya ini sebagai bentuk rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa atau manifestasi yang telah dihadirkan, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik semua rangkaian upacara pembersihan dan penyucian itu.

Selesai mejaya-jaya, dilanjutkan dengan memasang siroswita di kepala yaitu dengan secara melingkar pada dahinya. Siroswita adalah sarana upakara yang dibuat dari empat lembar daun alang-alang yang setiap ujung-ujungnya diikatkan menjadi satu diisi kalpika.

- Advertisement -

Kalpika terbuat dari sehelai daun kembang sepatu berisi tiga macam bunga yang berwarna merah, putih, dan hitam. Ketiga warna tersebut merupakan simbol pengurip-urip Trimurti. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan persembahyangan bersma, dengan mempergunakan sarana kwangen dan sasari uang kepeng 11 buah. Doa ini ditujukan kehadapan sembilan Dewa yang menguasai sembilan penjuru mata angin atau Dewata Nawa Sanga.

Ya, demikian rangkaian Upanaya yang digelar STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja dengan melibatkan 560 Mahasiswa tahun akademik 2021-2022.  Upanayana tersebut dipimpin Ida Pandita Mpu Dharma Kerti dari Griya Sawan.

Dosen Filsafat Hindu, STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja, I Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag menjelaskan, jika merujuk dari Sastra, upanayana dalam pandangan Hindu merupakan momen penyucian murid yang baru belajar Weda yang dilakukan oleh seorang guru

Dalam Pustaka Manawa Dharmasastra II.36 disebutkan: Swadyaya yaitu belajar sendiri tentang Weda, mempelajari Weda. Brata, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu, berjanji untuk sesuatu yang melanggar ketentuan misalnya Sawitri wrata (brata sawitri), tidak makan daging, tidak tidur dan lain-lain. Melakukan Upacara Sawitri, upacara pengucapan mantra sawitri sebagai simbol masuk sekolah pertama.

Jika merujuk dari pustaka Manawadharmasastra ini, Upanayana bertujuan agar mahasiswa-mahasiswi baru mendapatkan wahyu ilmu pengetahuan melalui pemujaan kepada Dewi Saraswati yang merupakan saktinya Dewa Brahma. Sehingga seluruh mahasiswa baru siap mental secara sekala dan niskala mengikuti pembelajaran dan menerima wahyu ilmu pengetahuan selama delapan semester nanti.

“Sebelum menimba ilmu, mempelajari sastra, aksara suci, pustaka suci Hindu, maka sudah sepatutnya mahasiswa harus disucikan secara lahir batin dengan ritual Upanayana. Sehingga mereka fokus menjalani masa Brahmacari dan tidak terpengaruh godaan,” jelasnya.

Menurut Gami, segala bentuk rangkaian yang diikuti merupakan simbol. Dimana Mahasiswa tersebut secara niskala sudah resmi untuk bisa menunaikan tugasnya menuntut ilmu.

“Kemudian diberikan kepada yang di upanayana untuk dimakan atau ditelan, yang mengandung simbolis, bahwa aksara suci ilmu pengetahuan untuk peningkatan dirinya menuju pada kesucian itu, sudah dimasukkan kedalam dirinya untuk dipelihara dan menjiwainya berupa kekuatan batin,” ujarnya.

Kemudian dalam prosesi persembahyangan Lanjut Gami Sandi, patut dilakukan dengan cakupan tangan pada sepuluh jari secara rapat-rapat, sebagai simbolis pemusatan antara Panca Buddhindriya dan Panca Karmendriya,

“Dengan memusatkan pikiran memuja Beliau yang dihadirkan, untuk dipuja secara lahir dan batin,” katanya.

Setelah Upacara persembahyangan berakhir, dilanjutkan dengan nunas tirta. Tirta dipercikkan ke atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, adalah untuk mensucikan pikiran, perkataan dan perbuatan. Berikutnya dipercikkan 3 kali lagi adalah untuk diminum, agar ditempati oleh Sang Hyang Dharma, dapat membuat ketenangan dunia dan bertutur kata yang benar.

Nunas tirta kemudian diakhiri dengan dipercikkan 3 kali lagi untuk mencuci muka. Tujuannya agar menjadi suci, mendapatkan ketenangan sehingga dapat menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik dalam menjalankan swadharma.

“Akhir upanayana dilakukan mebija. Bija ini symbol Hyang Kumara Putra Dewa Siwa, bertujuan untuk memohon benih-benih  Ke-Siwaan-an yang dibuat dari beras bercampur air cendana, Bija dilekatkan diantara kedua kening, secara lahir dan dimakan atau ditelan secara batin,” pungkasnya.|K-RM|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts