Agar Literasi Lebih Nendang

Sejak bulan-bulan awal pada 2021 yang lalu, Balai Bahasa Provindi Bali merancang program yang mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajaran di sekolah dasar. Tidak hanya itu, inovasi program ini, seperti ditegaskan oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali, Toha Machsun, M.Ag. adalah berbasis KBAT (Keterampilan Berpikir Aras Tinggi).

Program ini diberi nama “Integrasi Literasi dalam Pembelajaran Berbasis KBAT pada Satuan Pendidikan Sekolah Dasar”.
Tujuan yang ingin dicapai oleh Balai Bahasa Provinsi Bali adalah meningkatkan kualitas gerakan literasi yang stagnan. “Agar kegiatan literasi lebih nendang”, demikian suatu kali Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali berungkap.

- Advertisement -

Gerakan literasi berupa kegiatan membaca selama 15 menit, memposisikan literasi sekolah berada di luar pagar mata pelajaran. Karena itu, dipandang tidak penting oleh guru dan siswa karena terpisah dengan pelajaran. Sebagaimana namanya, program ini mengintegrasikan kegiatan literasi ke dalam pembelajaran.

Siswa dibiasakan membaca dan menemukan materi dalam bacaan yang berhubungan dengan suatu pelajaran.
Dari serangkaian workshop, sebagai langkah pertama adalah proses penyusunan modul pedoman pelaksanaan di lapangan. Modul ini melewati serangkaian proses diskusi, peninjauan, pembacaan ahli, revisi, dan uji coba.

Daerah yang dipilih untuk uji coba adalah Kabupaten Karangasem karena beberapa alasan. Kabupaten ini memiliki kekayaan insan-insan guru yang berkarya dalam bidang literasi. Mereka telah menerbitkan beberapa buku dan kerap memenangkan sayembara menulis (fiksi dan nonfiksi).

Perhatian pemerintah setempat terhadap guru-guru yang berkarya tulis sangat bagus dan diarahkan untuk mengembangbiakan budaya literasi di sekolah mereka bertugas. Tidak tanggung-tanggung, Pemkab Karangasem mengangkat guru-guru literat menjadi kepala sekolah. Karena itu, sekolah-sekolah literat di kabupaten ini ada di tangan para guru yang berkarya dalam bidang literasi.

- Advertisement -

Memang benar, dari keenam sekolah yang kemudian dipilih oleh Balai Bahasa Provinsi Bali, atas rekomendasi Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olah Raga (Dikdispora) dalam proyek pilot ini, adalah para kepala sekolah yang literat. Mereka melakukan serangkaian praktik baik literasi, pada lingkup diri sendiri dan kemudian disemai di lingkungan sekolah. Karena itu, GLS (Gerakan Literasi Sekolah) di SDN 1 Seraya Barat, SDN 1 Karangasem, SDN 7 Subagan, SDN 1 Bunutan, SDN 1 Selumbung, dan SDN 1 Rendang; telah membumi.

Sekolah-sekolah ini mengharumkan nama baik Kabupaten Karangasem dalam bidang GLS di tingkat nasional.

Tulisan ini adalah catatan dari serangkaian pemantauan lapangan, yang mana penulis adalah salah seorang tim penyusun buku pedoman untuk pelaksanaan program ini dan sekaligus sebagai pemantau lapangan.
Karena Bapak Kepala Sekolah SDN 1 Seraya Barat baru saja bertugas di sekolah barunya, dua bulan yang lalu, tentu kondisi lingkungan sekolah yang literat masih belum tampak. Para kepala sekolah terdahulu pasti tidak pernah mengembangkan lingkungan sekolah yang literat. Dengan visi literasi yang kuat, kepala sekolah yang akan mengubah “wajah” lingkungan sekolah menjadi seperti SDN 7 Subagan, SDN 1 Karangasem, SDN 1 Selumbung, dan SDN 1 Rendang.

Di dasar lembah yang terbentuk dari bukit hijau mengelilinginya, di kawasan hutan Lempuyang yang indah dan suci, I Wayan Paing bertugas selaku kepala sekolah. Di sekolah inilah ia akan menerima tantangan untuk “menyulap” SDN 1 Bunutan menjadi SD dengan lingkungan literat. Bagi Wayan Paing dengan visi literasinya, gerakan literasi yang telah dilakukannya di Gulinten, dan penglaman menjadi instruktur literasi, pasti sangat mudah urusannya untuk membangun sekolah ini dengan fokus pada bidang literasi. Karena itu, jangan heran jika dalam waktu singkat saja nanti, lingkungan sekolah ini sudah berubah ke arah terbangunnya seolah yang menjadikan literasi sebagai budaya.

SDN 1 Seraya Barat dan SDN 1 Bunutan memang masih meretas jalan menuju sekolah dengan lingkungan budaya literasi yang memenuhi standar internasional. Kiprah dan visi dua orang kepala sekolah dalam bidang literasi adalah garansi akan tumbuhnya literasi di kedua sekolah ini, dalam waktu dekat. Hal ini didukung oleh alasan bahwa kepala sekolah yang bervisi literat dan apalagi telah berkarya dan bergerak dalam literasi, memiliki korelasi yang positif terhadap lingkungan sekolah dengan budaya literasi dan terimplementasi dalam pelajaran dan diterima oleh seluruh guru.

Korelasi positif itu tampak sangat nyata di SDN 7 Subagan atau di SDN 1 Selumbung dan demikian pula apa yang terjadi di SDN 1 Karangasem atau di SDN 1 Rendang. SDN 7 Subagan dibangun di antara bangunan di tengah-tengah kota. Di sinilah Bapak Putra bertugas sebagai kepala sekolah tidak hanya fokus pada literasi karena ada masih banyak fokus lainnya. Toh keadaan itu tidak menggusur visi besarnya terhadap pengembangan sekolah, guru, dan siswa yang literat. Ketiga unsur itu “berpacu” untuk berkarya buku dan menerbitkannya.

Guru dengan sangat mudah menjadikan literasi sebagai pengalaman belajar yang nyata. Pengalaman ini berupa kegiatan membaca buku dari perpustakaan mini di setiap beranda kelas. Siswa di SDN 7 Subagan tidak hanya menyimak suara ceramah para guru, sepanjang hari yang membosankan dan sepanjang tahun pelajaran tetapi sesekali mereka mendapat waktu untuk membaca dan bertualang dalam dunia aksara dan teks cetak.
Hal yang sama dinikmati oleh siswa, dengan senikmat-nikmatnya di SDN 1 Selumbung yang kepala sekolahnya seorang guru-penyair dan pembaca buku, Ida Ayu Sugiantari. Catatan penting literasi sekolah dari SDN 1 Selumbung tentu saja jejaring literasi yang dibangunnya dengan berbagai lembaga yang mengurusi literasi, seperti misalnya Yayasan Literasi Anak Indonesia. Lewat jejaring, sekolah ini memiliki perpustakaan ramah anak berkualitas internasional. Buku-buku koleksinya terpilih dengan ketat dan adalah buku-buku yang ditulis secara khusus untuk bacaan anak dan sesuai dengan penjenjangannya. Di sekolah ini, literasi adalah bagian dari kegiatan belajar sehari-hari, terlebih bagi siswa yang ada di kelas I-III.

Di kelas-kelas ini guru tidak mengajarkan teori apapun atau menceramahi siswa dengan kata-kata mutiara tetapi menunjukkan buku-buku khusus yang sangat indah dan menarik. Buku anak di kelas I misalnya, adalah buku dalam ukuran sangat besar (setengah meter), berwarna, sedikit kata untuk menyusun kalimat sependek mungkin. Guru membacakan buku itu, siswa mendengar dan melakukan permintaan yang ditulis di dalamnya, seperti menulis kata tertentu pada buku catatan, menggambar seekor domba, berhitung, dan lain-lain. Selama seseorang anak Desa Selumbung yang sangat beruntung ada di kelas I-III, mereka sehari-hari belajar dengan aktivitas utama, yakni membaca. Inilah wujud nyata literasi dini dalam pelajaran yang sedang terjadi.

Sebagaimana halnya siswa, guru, dan kepala sekolah “berlomba” menulis dan menerbitkannya, di SDN 7 Subagan, pun terjadi hal yang sama. Jadi, tidak hanya jaringan kerja dalam bidang literasi yang penting dicatat tetapi juga karya literasi (buku) yang dihasilkan oleh kepala sekolah, guru, dan siswa.

Catatan lain yang menarik dipetik dari pengalaman Ibu Guru Ni Wayan Putu Suardani yang mengajar di SDN 1 Karangasem. Visi hebat literasinya dibentuk di tengah-tengah keluarganya, dari suaminya yang seorang guru dan juga penulis yang kerap menjuarai lomba menulis baik di tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Ia “belajar dan berpraktik” literasi dari suaminya ketika sama-sama berada di rumah. Artinya, terjadi arus: literasi keluarga bergerak menuju literasi sekolah. Tentu juga arus atau gerakan ini bisa berbalik pada kondisi sekolah yang lain. Literasi sekolah bergerak ke literasi keluarga. Pengalaman Ni Wayan Putu Suardani mencerminkan bahwa GLK (Gerakan Literasi Keluarga) berkontribusi terhadap GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Pengalaman literasi yang bagus yang didapat anak-anak di sekolahnya dalam GLS akan mampu pula menumbuhkan GLK.

Sebuah cerita “Pulang Kampung” disusun Ibu Yuli yang bekerja di SDN 1 Rendang. Ia mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajarannya menggunakan cerita yang disusun sendiri. Cerita ini dibaca siswa dan dijadikan konteks pembahasan materi. Banyak hal bisa dikaitkan dengan ceritanya dan itu semua adalah satu metode menggunakan cerita untuk menyampaikan suatu materi pelajaran. Dengan ini pula siswanya menemukan berbagai informasi pelajaran di dalam sebuah cerita. Ibu Yuli seperti hendak menandaskan, sebuah cerita tidak selamanya “omong kosong” karena cerita Bu Yuli memberi banyak informasi, bukan? (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts