Menguak Pemikiran Kritikus Hardiman 

Buku yang berjudul Kritik Seni, Sekumpulan Esai, Resensi, dan Profil Seni Rupa (Hardiman, 2022) ditulis sejalan dengan dinamika seni rupa di Indonesia. Salah satu tugas kritik adalah membicarakan secara estetis, interpretatif, dan kontekstualisasi karya seni yang dipayungi oleh perspektif kritis kritikus.

Dari sedemikian banyak kejadian sosial seni rupa dalam suatu periode kerja seorang kritikus, hanya sedikit yang mampu dikerjakan karena jumlah kritikus selalu bisa dihitung dengan jari ketimbang jumlah seniman. Seniman senantiasa membutuhkan kritikus dan kritik untuk melegitimasi wacana yang merupakan koteks dan konteks suatu karya.

- Advertisement -

Dalam praktiknya, kritik seni rupa diam-diam menjadi teks pembaptisan bagi seorang seniman walaupun hal ini sudah merupakan pandangan kuno di era digital. Apalagi seniman yang belum terkenal dan bagi seniman yang sudah terkenal, kritik adalah  pengukuhan yang terus-menerus. Dari segi ini, mungkin fungsi kritikus saat ini sudah banyak mengalami perubahan.

Dalam suatu periode 1986-sekarang (catatan angka tahun paling awal pada dua tulisan di dalam buku ini)  tercatat berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia yang menunjukkan praktik-praktik kreatif berkaitan dengan pendidikan seni rupa di Bali dalam arti luas,  lukisan anak-anak, kompetisi seni rupa, pergulatan dan demarkasi historis yang kolonialis melahirkan tradisionalisme dan yang modern, tentu saja yang sangat besar menyita perhatian dunia seni rupa di manapun adalah gender, kegemaran seniman berkelompok, seni rupa dan Islam yang memang sedikit hadir dalam peristiwa seni rupa, seni rupa remaja, fornografi dan erotisme, teater dan pertunjukkan jogged bumbung yang cenderung cabul, media seni baru (elektronik dan digital), komodifikasi, dan lain sebagainya.

Persoalan yang dibahas dalam buku ini yang  ditentukan oleh peristiwa-peristiwa atau produksi wacana seni rupa dunia, Indonesia, dan Bali (sebagai representasi internasional) dapat menjelaskan cara kritikus bekerja. Kritikus bekerja mengikuti peristiwa karena itu, ia ada di dalam pusaran arus pristiwa dan produksi wacana. Sebagai kritikus seni, Pak Hardiman menjadi bagian peristiwa seni rupa di Indonesia. Kerja kritikus memang pada akhirnya sangat ditentukan oleh peristiwa.

Menjadi bagian peristiwa seni rupa di Indonesia, Pak Hardiman telah menyusun “peta peristiwa” yang sangat luas. Seluruh wacana dan produksi seni rupa yang melibatkan seniman di dalamnya, telah dijangkau oleh buku ini. Keadaan ini dapat dianalogikan dengan buku-buku klasik seperti History of Java atau Malay Archipleago yang masing-masing ditulis oleh Rafles dan Wallace. Buku Pak Hardiman ini tidak hanya mendeskripsikan data berupa karya sebagaimana Rafles menggambarkan renik-renik Jawa atau Wallace yang menuliskan sketsa-sketsa kata-kata untuk kumbang tanduk pedalaman hutan tropis Borneo, demikian pula yang terjadi pada Hooykaas ketika memasuki dunia rerajaahan Bali di Singaraja.

- Advertisement -

Infrastruktur Kritik Seni 

Pembacaan terhadap buku ini secara cermat untuk suatu forum bertujuan untuk mengungkap infrastruktur teks yang dipraktikkan oleh Pak Hardiman. Infrastruktur kritik Pak Hardiman dilandasi oleh tiga hal pokok: karya, konten, dan konteks. Hampir semua tulisan dalam buku ini lahir dari konstelasi tersebut.

Infrastruktur Kritik Seni (Pak) Hardiman mampu menjelaskan dengan sangat kuat relasi-relasi di antara karya, konten, dan konteks. Karya adalah objek kritik yang lahir dari peristiwa seni (pameran, proses kreatif seniman di rumahnya, lelang, lomba). Konten adalah tema atau Pak Hardiman menggunakan istilah subject matter (hal. 148).

Konstelasi karya, konten, dan konteks pada Kritik Seni (Pak) Hardiman terjadi pada kuatnya posisi konteks yang digunakan untuk menjustifikasi karya dan kontennya. Karya adalah bahan-bahan fisika dan teknik seni. Konten adalah representasi realitas dalam lukisan, patung, grafis, dan karya seni lainnya. Konten terkadang denotatif dan konotatif.

Peranan konteks dalam konstelasi karya, konten, dan konteks, ternyata sangat besar. Hampir semua produk seni rupa dan peristiwa yang dibangun atau dipicunya, diselesai dengan konteks. Maka teknik kerja kritik seni rupa (Pak) Hardiman adalah pengkonteksan atau kontekstualisasi. Kritik pengkonteksan adalah membicarakan karya seni rupa di dalam konteksnya karena karya tidak pernah terisolasi dalam sejarah secara sosiologis. Karena itu, pendekatan kritik seni Pak Hardiman adalah kritik dengan pendekatan sosilogis. Namun demikian, sebagaimana tampak di dalam buku ini, teknik kritik yang digunakan adalah kontekstualisasi secara konsisten. Karena itu saya menyebut satu teknik kritik seni rupa Pak Hardiman dengan kritik seni pengkonteksan dan kontekstualisasi.

Metode kritiknya mungkin belum tampak di dalam buku ini karena dianggap sebagai yang teknis dan metodis. Namun demikian, bisa dibangun dengan meminta Pak Hardiman menyelenggarakan serangkain lokakarya penulisan kritik seni.

Karena itu, sumbangan akademisi kepada dunia seni yang diberikan oleh Pak Hardiman dan juga adalah sumbangan lembaga afiliasinya, berupa pengembangan metode kritik seni. Metode ini saya rumuskan menjadi konstelasi tiga K karena semua tulisan di dalam buku ini selaluberangkat dari karya seni, apapun itu wujudnya, lalu dibahas kontennya, dan dilakukan kontekstualisasi.

Lewat esai ini, saya ingin mengajukan suatu usul kepada lembaga afiliasi Pak Hardiman, yaitu jurusan dan prodi untuk mengembangkan konsep, metode, kritik seni dengan insfrastruktur konstelasi karya, konten, dan konteks.

Pada tahap selanjutkan dilakukan serangkaian lokakarya kritik seni, sebagai perjuangan untuk merebut kepercayaan masyarakat ilmiah, sehingga warisan pemikiran kritik seni Pak Hardiman tidak terhenti. Program-program penelitian dan PkM pada tahuntahun yang akan datang difokuskan pada kritik seni yang telah dibangun infrastrukturnya oleh Pak Hardiman.

Hal lain yang erat hubungannya dengan infrastruktur kritik seni konstelasi karya, knten, dan konteks adalah peranan karya sebagai medan sosial. Di dalam medan ini pemikiran dan filsafat dibangun, Seni rupa merupakan medan wacana yang sangat kuat dan baru mampu dapat diungkap ketika dikontekstualisasi. Pengkonteksan atau kontekstualisasi adalah satu kemampuan khusus dan ini dikuasasi oleh Pak Hardiman. Tulisan-tulisannya dalam buku ini konsisten melakukan hal itu. Konsep kontekstyaisasi secara metodologis dan ontologis adalah relasi-relasi yang absolut antara karya seni dengan apapun yang ada di luar dirinya. Kritik seni kontelasi 3K didasari oleh prinsip relasionalisme dan mimesis. Metode kerja intertekstualitas dan new historisim sering digunakan oleh Pak Hardiman dalam kritk-kritiknya. Namun demikian, karena new historicism belum populer dalam dunia seni rupa, karena adanya pandangan objektif dan strukturalis di kalangan seniman, maka metode kritik Pak Hardiman masih lebih banyak pada metode intertekstualitas.

Metode ini sangat kuat karena menunjukkan realitas yang saling berhubungan dalam persepsi-persepsi manusia. Kritik-kritik Pak Hardiman selalu melakukan hubungan dua atau beberapa teks. Hakikat seni rupanya, agar tidak menjadi esai kritis yang lebih umum sifatnya, ia selalu berangkat dari objek (karya) sejalan dengan hukum kritik seni yang merupakan tulisan dengan objek karya.

Di samping metode yang diterapkan dalam teknik-teknik tertentu kritik seni, teori juga sangat penting dalam. Buku Pak Hardiman yang kaya dengan referensi menunjukkan bahwa kritikus perlu mempelajari berbagai teori. Berbicara lukisan perupa perempuan misalnya, marus berkaitan dengan teori gender atau feminisme. Teori juga sangat penting dijadikan landasan bagi kritikus dalam melakukan kontekstualisasi atau pengkonteksan.

Di samping prinsip umum, konstelasi kritik seni karya, konten, dan konteks, metode kritik seni Pak Hardiman juga dibangun pada rumusan cara pandang terjadap objek seni rupa yang dikritik. Kritik-kritik di dalam buku ini menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro adalah membicarakan objek seni rupa secara umum sebagai gejala bersama pada suatu tetapi sering pula kritikus mengambil objek kritik pada satu seniman, bahkan pada satu karya atau bahkan pada gejala yang khusus dari beberapa pelukis, misalnya potret diri. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts