Safari Literasi di SMAN 1 Tabanan, Membangun Jejaring Kerja Literasi Berbasis Kawasan

Dari beberapa kali perjalanan Safari literasi ke beberapa sekolah  di Kabupaten Buleleng, Tabanan, Badung, dan Kodya Denpasar, dapat ditulis catatan bahwa model pengembangan literasi di sekolah-sekolah masih konvensional. Inovasi sedang menanti! Safarai literasi di SMAN 1 Tabanan bersama MGMP (Musyawarah Guru Bidang Studi) Bahasa Indonesia telah memberi model pengembangan GLS yang baru.

Ada kesan umum, sekolah-sekolah tidak bergerak sama sekali dalam literasi dengan berbagai alasan; seperti kesibukan para guru dan jadwal yang padat. Mungkin ini hal yang klise! Pada ghalibnya jua ada kondisi yang mengatakan bahwa sesuatu berjalan dengan sangat masif di sekolah-sekolah jika ada kontrol dan tekanan dari pihak lain atau apalagi dari atasan. Namun catatan ini berangkat dari sebuah inspirasi gerakan literasi sekolah yang ditemukan dalam Safari literasi di SMA Negeri 1 Tabanan tempo hari (10/3/2023).

- Advertisement -

Kegiatan literasi yang dikembangkan dalam acara safari literasi ini tampaknya menjadi menarik sebagai model GLS. Sekolah bisa memaksimalkan pengerahan potensi-potensi yang ada. Mungkin OSIS sudah terlalu sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan sekolah. Masih ada kelompok ekstrakurikuler.

SMA Negeri 1 Tabanan menyelenggarakan kegiatan literasi sekolah dengan melibatkan siswa ekstrakurikuler jurnalistik dan teater. Karena itu, sebenarnya literasi di sekolah bukan lagi kegiatan yang mandiri dan terpisah dari kegiatan-kegiatan lainnya. Literasi sebenarnya bisa masuk ke berbagai mata pelajaran dan ekstrakurikuler. Seperti yang terjadi di SMASN SMA 1 Tabanan, kegiatan literasi menggunakan perspektif ekstrakurikuler. Dengan menggunakan perspektif kegiatan ekstrakurikuler maka literasi sekolah akan selalu terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan tersebut.

Mungkin apa yang terjadi di SMA Negeri 1 Tabanan dalam safari literasi tanggal 10 Maret 2023 yang lalu menunjukkan bagaimana literasi bisa dilakukan secara terpadu. Dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa mendapatkan tambahan kegiatan literasi sesuai dengan bidang ekstrakurikuler tersebut. Ketika literasi bergabung dengan kegiatan jurnalistik maka pengembangan kegiatan literasi ada di bawah payung jurnalistik. Demikian pula halnya ketika kegiatan literasi sekolah ada di bawah payung ekstrakurikuler teater maka kegiatan literasi juga lebih fokus pada teater. Literasi dalam perspektif  ekstrakurikuler tersebut lebih memudahkan pelaksanaan yang mana menjadikan literasi terintegrasi, tidak hanya dengan pelajaran tetapi juga dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler.

Memang masih harus disadari ada kegiatan ekstrakurikuler yang  dipandang lebih cocok atau lebih dekat dengan kegiatan literasi dan ada yang mungkin dipandang agak jauh hubungannya, seperti olahraga atau kesenian dan namun demikian, yang paling penting adalah kegiatan safari literasi di SMA Negeri 1 Tabanan yang didukung sepenuhnya oleh kepala sekolah, para guru dan staf pimpinan sekolah ini, menunjukkan sebuah kegiatan literasi bisa dilaksanakan atau ditangani bersama oleh berbagai organisasi kesiswaan intrasekolah di bawah OSIS.

- Advertisement -

Sementara ini gerakan literasi adalah tanggung jawab kepala sekolah dan satuan kerja atau satuan tugas yang dibentuk. Belum ada sekolah yang mengembangkan kegiatan literasi dengan melibatkan organisasi-organisasi ekstrakurikuler sekolah dan karena itulah literasi masih dipandang terpisah dari aktivitas-aktivitas lain yang sudah ada. Ketika literasi hanya dijadikan kegiatan yang terpisah maka literasi itu tentu akan membutuhkan waktu tersendiri dan bisa jadi sebagai kegiatan baru dan sulit diterima oleh warga sekolah sehingga kegiatan ini sekedar jalan saja. Inilah yang sudah umum terjadi dan praktis semasa pandemi. GLS  praktis tidak berlangsung. Karena itu, perlu mencari model kegiatan literasi yang terintegrasi dengan berbagai agenda sekolah. Maka model GLS yang dapat dikembangkan adalah mengintegrasikan literasi dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler.

Karena itu, tulang punggung atau ujung tombak literasi sekolah tidak lagi guru semata tetapi sudah menjadi tanggung jawab bersama warga sekolah. Dan, ketika gerakan literasi sudah menjadi tanggung jawab bersama maka kegiatan literasi bisa berlangsung secara otentik dan natural. Harus diberi catatan bahwa kegiatan literasi ini pernah booming namun kemudian surut dengan berbagai alasan. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari adanya budaya kontrol kepada sekolah. Bercermin pada apa yang terjadi di SMA Negeri 1 Tabanan tampaknya kontrol itu tidak perlu lagi didapatkan atau diharapkan karena guru dan kelompok-kelompok ekstrakurikuler, seperti teater dan jurnalistik bergerak dengan sangat sigap; dengan catatan tipis bahwa program-program literasi memang tidak boleh terputus dan harus dilakukan secara berkesinambungan.

Gerakan literasi juga membutuhkan relevansi dengan kehidupan sekolah secara lebih tersurat sehingga bisa diukur kegagalan dan keberhasilannya atau bisa ditera apa saja yang sudah bisa dicapai dalam suatu periode tertentu. Produk-produk literasi yang dihasilkan seperti buku, vlog, video, dan lain sebagainya dalam bingkai kehidupan digitalisme, dapat dijadikan target dan alat ukur inovasi dan pencapaian atau kemajuan gerakan literasi sekolah.

Karena gerakan literasi itu mengikuti dinamika perkembangan di masyarakat maka saat ini tidak perlu lagi memandang literasi sebagai kegiatan berbasis teks cetak atau teks kertas. Dari berbagai perjalanan safari literasi, selalu muncul pertanyaan atau permasalahan bahwa literasi itu masih harus dikembalikan ke masa lalu yaitu ketika dunia yang dikuasai oleh kapitalisme cetak. Hal ini sudah harus ditinggalkan karena literasi tidak lagi sama dengan buku tetapi literasi sejatinya adalah pengetahuan yang tidak terbatas.

Kertas satu cetakan adalah media pengetahuan itu tempat manusia menyimpannya karena terbatasnya daya ingat. Pada era digital pengetahuan itu berpindah ke dunia digital karena itu literasi di era 4.0 ini adalah literasi digital yang sangat multimoda. Tidak lagi soal membaca dan menulis tetapi soal terintegrasinya berbagai aspek teknis, artistik, ekspresif, ekonomis, dan ideologis di dalam kegiatan literasi manusia. Jangan-jangan pada saat dunia siswa memasuki digitalisme siswa sudah sangat literat karena mereka mendapatkan pengetahuan yang sangat mudah.

GLS perlu mengubah definisi literasi, dari kertas ke digital, dari literasi yang tunggal ke literasi yang majemuk. Literasi tidak lagi persoalan membaca buku cetak tetapi literasi terkait dengan akses,  produksi, reproduksi pengetahuan yang tidak terbatas.  Dan, para siswa harus hadir di dalamnya di mana gerakan literasi sekolah adalah pembimbingnya.

Demikian catatan dari dimensi filosofi baru gerakan literasi sekolah dan catatan ini juga sampai kepada bagaimana sekolah penting mendesain manajemen gerakan literasi.

Sekolah jarang sekali mengambil peran bagaimana bisa mendesain atau mengelola kegiatan literasi walaupun hal ini ada namun pengelolaan kegiatan literasi sekolah tersebut masih berorientasi pada sekolah itu sendiri. Adanya kerjasama dengan MGMP bahasa Indonesia se-kabupaten Tabanan yang terlibat di dalam kegiatan safari literasi di SMA Negeri 1 Tabanan maka ini menjadi penting bagi gerakan literasi sekolah, terutama dalam mengelola gerakan literasi yang sudah tidak harus lagi hanya sebatas sekolah itu sendiri tetapi GLS yang melibatkan jejaring kerjasama dengan sekolah lain.

Jejaring kerjasama literasi ini bisa dilakukan oleh sekolah dengan sekolah lainnya di dalam satu kawasan atau gugus. Bisa juga memanfaatkan organisasi-organisasi mata pelajaran. Bisa juga memanfaatkan forum-forum organisasi kesiswaan yang ada di suatu kawasan atau suatu daerah kabupaten atau Kecamatan. Karena itu, gerakan literasi akan berkembang di suatu wilayah di mana sekolah itu berada.  Dengan demikian, berarti gerakan literasi sekolah turut serta membangun gerakan literasi masyarakat atau literasi kawasan karena tidak bisa dimungkiri bahwa sekolah-sekolah tersebut adalah bagian dari infrastruktur sosial dari suatu kawasan pemukiman masyarakat.

Dengan adanya gerakan literasi berbasis jejaring kerjasama, misalnya dengan MGMP sebagaimana dilakukan di SMA Negeri 1 Tabanan dengan yang bergerak adalah MGMP bidang studi bahasa Indonesia, maka gerakan literasi setelah terjadi dalam satu kawasan dalam satu jejaring kerjasama. Apa yang dilakukan atau digagas oleh SMA Negeri 1 Tabanan dalam membentuk jejaring literasi ini sangat penting untuk dikembangkan dan bahkan menjadi pilihan pelaksanaan gerakan literasi yang berbasis kawasan sekolah atau gugus. Sehingga, gerakan literasi tidak lagi hanya berorientasi pada satu sekolah dan seolah tertutup.

Dengan pengelolaan jejaring kerja literasi sekolah, program-program literasi bisa dibicarakan bersama dengan melibatkan sekolah-sekolah di dalam satu kawasan. Program-program bersama yang bisa dilakukan seperti festival literasi, forum-forum literasi sekolah, penerbitan karya literasi digital, pameran literasi, dan lain-lain. Di samping itu, yang penting dalam gerakan literasi berbasis jejaring kerjasama adalah memperluas jangkauan kepada pihak-pihak yang bisa diajak kerjasama, seperti kampus, komunitas literasi, pengarang, dan lembaga-lembaga yang memang secara khusus bergerak dalam bidang gerakan literasi nasional, seperti Perpustakaan Nasional dan perpustakaan umum di daerah-daerah.

Forum jejaring literasi yang melibatkan organisasi-organisasi bidang mata pelajaran di suatu sekolah akan mengembangkan literasi dalam jangkauan yang lebih luas dan membangun spirit atau dinamika bersama gerakan literasi yang berbasis kawasan. Literasi tidak lagi hanya identik dan sempit terjadinya pada satu sekolah.

Safari literasi di SMA Negeri 1 Tabanan mencatatkan dua hal penting. Pertama membangun jejaring kerjasama literasi dan ini sudah dicoba dengan MGMP Bahasa Indonesia. Kedua adalah dengan mengintegrasikan gerakan literasi sekolah dengan berbagai potensi sekolah seperti ekstrakurikuler. Inilah yang menjadi poin perhatian dan dijadikan praktik baik dalam melakukan inovasi GLS agar gerakan ini tidak lagi stagnan dan membosankan karena kegiatan membaca 15 menit tersebut terasa semakin tidak bermakna. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika., M.Pd., M.Hum (Akademisi Undiksha Singaraja dan Pegiat Literasi Akar rumput, Desa Batungsel, Kecamatan Pupuan)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts