Kisah Jayaprana Layonsari, dari Cerita Rakyat hingga Layar Lebar

Belahan bumi lain memiliki kisah cinta pilu yang luar biasa, Romeo dan Juliet. Begitu juga Bali, kisah Jayaprana dan Layonsari cukup melegenda dengan tajuk kisah cinta yang tragis.

Hutan belukar di Teluk Terima, Sumber Klampok, Grokgak menjadi saksi kepedihan dan mengalirnya darah Nyoman Jayaprana dan Nyoman Layonsari.

- Advertisement -

Membutuhkan waktu satu jam perjalanan dari pusat kota Singaraja sekitar 74 kilometer jauhnya hingga sampai hutan jalan setapak.

Mengunjungi hutan belantaran ini, diwarnai dengan keasrian, puluhan wanara menari dengan lihai dan bergelantungan dengan amat senang. Disana tersimpan kuat rasa dan kekekalan cinta yang semakin menguar tatkala menginjakkan kaki di penataran makam tempat dua sejoli itu tersenyum dan memadu kasih.

Nyoman Jayaprana, seorang anak yatim piatu yang tumbuh besar di Desa Kalianget dengan rupawan dan senyum yang memikat.

Nyoman Sekarsari, itulah nama asli dari seorang anak kepala desa sekar dengan senyum manis dan cantik rupanya. Namun masyarakat Bali mengenalnya dengan Layonsari. Iya Layonsari (layon dan sari, mayat yang wangi).

- Advertisement -

Sebuah hutan di depan Teluk Terima, Desa Sumberklampok, Gerokgak sebagai salah satu jejak terakhir berakhirnya kisah cinta dua sejoli. Saat ini, masyarakat menyebut Pura Luhur Jayaprana, di dalam hutan itu.

Kisah tragis Layonsari dan Jayaprana tercatat dengan sangat kental dalam ingatan warga Bali. Kisah cinta yang tak kekal, akibat kekuasaan raja Kalianget.

Namun siapa sangka, kisah ini menginspirasi dan menyayangkan dua sejoli itu memilih menutup mata dan bersemayam secara bersamaan.

‘Memang benar, dari dulu begitu ceritanya. Kalau pasangan antara suami istri, artinya saling memahami dan pendekatan diri. Ikatan itu agar tidak menjauh dan saling satu tujuan’ ungkap Jro Nyoman Taman,salah satu pemangku saat ditemui di Pura Beji Jayaprana, di akhir Mei 2023 lalu.

Para pengunjung ramai berdatangan di hari-hari besar hindu seperti Purnama-Tilem, Galungan, Kuningan bahkan Pagerwesi. Ketika sampai di area parkir Pura Luhur Jayaprana, terlihat jalan setapak dengan meniti anak tangan yang menghantarkan ke bukit mengarah ke teluk trima.

Suasana hening dan mistis menghantui selama manaiki satu persatu anak tangga, mengunjungi makam ini seperti mengenal cinta kasih sepasang suami istri, pengorbanan seorang istri melaksanakan upacara mesatya dan mati bersama karena cinta.

Sebuah kesetiaan yang menakjubkan….

Ada mitos yang hidup dalam masyarakat, bahwa pasangan pengantin yang baru menikah pantang melewati sepanjang jalan di depan makam dan harus melewati jalan lain, agar dua sejoli ini tidak merasa iri.  Karena mereka berdua ialah pasangan yang tidak dapat disatukan di dunia seperti pasangan pengantin yang melintas. Namun mitos ini dibantah oleh Jro Mangku Taman

‘Beliau tetap membantu, seperti permintaan nunas sentana dan ini sering terbukti. Kalau hal-hal seperti itu yakni mitos tidak ada. Malah disini, suami istri ke sini lebih bagus,” lanjut dia,

Kisah Cinta Jayaprana dan Layonsari juga dinaikkan ke dalam film layer lebar dan sudah membahana disalahsatu bioskop di Bali. Putu Satria Kusum,seniman Buleleng yang menyutradarai film itu.  Film itu menggunakan Bahasa Bali.

Putu Satria Kusuma mengatakan, bahasa Bali dalam film layar lebar Layonsari dan Jayaprana dianggap sebagai sebuah rasa senang dan tidak ada bentuk diskriminasi Bahasa, karena disitu juga dilengkapi terjemahan menggunakan bahasa Indonesia serta menggunakan logat Buleleng.

“Film Jayaprana Layonsari ini saya penulis naskahnya, saya tulis berdasarkan bahan-bahan yang saya gali di lapangan. Misalnya menggunakan geguritan, cerita-cerita yang berkembang di masyarakat. Jadi nonton film berbeda dengan nonton dram,” kata Satria.

Putu Satria Kusuma ialah sutradara sekaligus penulis naskah film layar lebar Layonsari Jayaprana dengan durasi dua jam lamanya, namun berhasil menggetarkan hati dan meninggalkan banyak sekali pesan disetiap adegannya. Lokasi yang diambil masih berada di sekitar desa Kalianget dan beberapa wilayah di Buleleng. (*)

Pewarta : Ni Putu Lily Darmayanti

Editor    : I Putu Nova Anita Putra

Catatan : Hasil reportase ini merupakan karya jurnalistik dari mahasiswa Undiksha yang melaksanakan magang sebagai jurnalis muda di media siber koranbuleleng.com .

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts