NASIB BAHASA BALI DAN PENYULUHNYA

Berita tentang nasib merana para penyuluh bahasa Bali ditayangkan di Bali TV kemudian dibagikan di dalam salah satu akun Facebook.

Perjuangan bahasa Bali untuk tetap bertahan dan semakin maju adalah perjalanan yang sudah sangat panjang, sejalan dengan indonesianisasi pasca kemerdekaan sebagai sebuah konsekuensi politik. Dalam percaturan bahasa-bahasa internasional dan bahasa-bahasa di suatu kawasan negara, tampak betapa nasib bahasa-bahasa lokal itu selalu menarik perhatian. Dengan mudah sekelompok masyarakat atau komunitas perlahan namun pasti beralih dari satu bahasa ibu ke bahasa lainnya.

- Advertisement -

Demikian pula halnya orang Bali secara alamiah, sosial, dan ekonomi beralih dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia dan bahasa asing. Tapi hal ini, pada diri seseorang penutur bahasa adalah pilihan yang pragmatis. Bahasa itu bisa digunakan atau perlahan ditinggalkan. Atau terjadi tarik ulur antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain. Bahasa Bali juga mengalami nasib itu di tangan para penuturnya.

Kecenderungan yang terjadi adalah bahasa Bali yang dipandang mencerminkan masa lalu; sementara itu masa lalu sudah digantikan dengan modernisasi, urbanisasi, internasionalisasi, atau globalisasi. Sebaliknya, bahasa Bali pada satu sisi dipandang sebagai warisan kebudayaan yang sangat tinggi. Karya-karya sastra ditulis dalam bahasa Bali juga mengandung nilai-nilai moral. Bahasa Bali juga sangat detail dalam merepresentasikan realitas atau alam pikiran orang Bali. Tidak itu saja bahasa Bali juga memiliki aksara.

Karena itu, cukup beralasan bahasa Bali harus dipertahankan. Berbagai cara ditempuh namun tidak kunjung berhasil. Walaupun pada satu sisi beberapa karya seni modern dan teknologi media menggunakan bahasa Bali seperti lagu pop, televisi dan siaran berbahasa Bali, koran berbahasa Bali namun masih dipandang belum memadai dan belum memberikan jaminan bahwa bahasa Bali itu akan bisa bertahan dan bahkan berkembang.

Salah satu usaha yang dianggap sangat strategis dalam melestarikan bahasa Bali adalah pendidikan. Untuk ini pemerintah telah menjadikan bahasa Bali sebagai mata pelajaran wajib dari SD SMP hingga SMA. Walaupun demikian, memang masih ada kendala dalam kurikulum dan status mata pelajaran ini. Minat para generasi muda mempelajari bahasa Bali misalnya dengan kuliah di fakultas ilmu budaya yang menawarkan prodi bahasa dan sastra Bali atau prodi kependidikan yang mencetak guru-guru bahasa Bali muncul karena mereka akan dapat pekerjaan. Pertimbangan utama para tamatan universitas dari prodi-prodi yang mengembangkan bahasa Bali adalah tentu saja mereka bisa bekerja di sektor-sektor yang membutuhkan bahasa Bali terutama dalam hal ini adalah dunia pendidikan. Sekolah-sekolah membutuhkan guru-guru bahasa Bali dan ini merupakan salah satu peluang kerja mengapa anak-anak muda mau mempelajari bahasa Bali.

- Advertisement -

Dalam perkembangan kemudian ada ketidakpastian bahwa pemerintah tidak mungkin mengangkat guru bahasa Bali. Tamatan guru bahasa Bali atau prodi bahasa dan sastra Bali dijanjikan suatu pekerjaan dan ini telah terealisasi dengan nama penyuluh bahasa Bali. Bahasa Bali memiliki jumlah penyuluh yang sangat memadai dan mereka bekerja di desa-desa di mana bahasa Bali itu masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, bahasa Bali belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Bahasa Bali masih terancam punah. Tentu saja terlalu naif kalau penyuluh bahasa Bali diberi tugas yang sangat berat yaitu melestarikan dan mengembangkan bahasa Bali dalam kehidupan mendatang sehingga bahasa Bali menjadi bahasa yang kaya dan dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan.

Dari sisi lain penyuluh bahasa Bali menjadi bagian dari usaha dalam pelestarian bahasa Bali namun demikian mereka memiliki impian yang lain yaitu ingin mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Karena itu, di tengah ketidakpastian nasib para penyuluh bahasa Bali, kapan diangkat oleh pemerintah provinsi;  jauh lebih menyita perhatian ketimbang kondisi bahasa Bali yang harus ditangani oleh para penyuluh. Mereka lebih sibuk memperjuangkan nasibnya sendiri ketimbang memikirkan Nasib Bahasa Bali.

Nasib bahasa Bali dan nasib para penyuluhnya setali tiga uang. Bahasa Bali berjuang untuk berkembang. Para penyuluh bahasa Bali berjuang untuk mendapatkan kepastian jaminan sebagai pegawai negeri. Keberadaan para lulusan atau sarjana bahasa Bali yang jumlahnya semakin banyak sejalan dengan banyaknya kampus-kampus di Bali yang membuka prodi bahasa Bali sejatinya menambah persoalan yang sudah ada. Pemerintah tidak lagi fokus melestarikan bahasa Bali tetapi menghadapi masalah baru yaitu bagaimana mengaji para penyuluh bahasa Bali. Dalam setiap forum seperti seminar, lokakarya bahasa, atau kongres kebudayaan Bali, kehadiran para penyuluh bahasa Bali justru tidak ada yang menyampaikan kemajuan-kemajuan yang dicapai selama bekerja menjadi penyuluh, sebaliknya mereka berkeluh kesah dan mohon belas kasihan pemerintah agar mereka bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil.

Pengangkatan penyuluh bahasa Bali tampaknya tidak mungkin bisa mengatasi persoalan bahasa Bali karena nasib bahasa tidak hanya ditentukan oleh para guru bahasa apalagi hanya penyuluh karena hidup matinya suatu bahasa di dunia ini bergantung kepada penuturnya sendiri, yang mana bukan merupakan entitas tunggal. Memang banyak yang menaruh harapan kepada para penyuluh bahasa Bali namun harapan itu tampaknya masih terlalu tinggi dan belum bisa diwujudnyatakan oleh para penyuluh.

Justru sebaliknya ada yang meragukan kemampuan mereka sebagai penyuluh. Para penyuluh bahasa Bali dengan status pegawai kontrak atau honorer memang tetap bekerja di tengah harapan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Selama mereka belum mendapat pekerjaan itu mereka masih bertahan sebagai penyuluh bahasa Bali namun ketika mendapatkan pekerjaan yang lebih baik maka mereka akan berhenti menjadi penyuluh bahasa Bali.

Yang paling ideal adalah mengangkat guru bahasa Bali yang setara dengan guru-guru yang diangkat oleh departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa sarjana pendidikan bahasa Bali telah membuktikan hal ini dan mereka pada akhirnya bekerja secara resmi sebagai guru bahasa Bali dan menjadi guru profesional karena mereka telah mengikuti pendidikan guru atau PPG dan mengantongi sertifikat pendidik bahasa Bali.

Namun demikian, kemampuan pemerintah untuk mengangkat guru bahasa Bali sangat terbatas sehingga menjadi penyuluh bahasa Bali adalah pilihan yang paling rasional untuk menampung lulusan universitas.

Memang antara penyuluh dan bahasa Bali ada pada alam wilayah yang sama yaitu persoalan kebahasaan tetapi di antaranya terdapat perbedaan yang sangat tajam. Penyuluh bahasa Bali berjuang bukan untuk bahasa Bali tetapi untuk mendapatkan penghasilan atau gaji. Sementara itu bahasa Bali lewat para penuturnya, pemerintah, para ahli kebudayaan, seniman, berjuang untuk mengembalikan bahasa Bali pada kehidupannya ketika Bali dan orang Bali hanya sebagai ekabahasawan. Ketika orang Bali menjadi dwibahasawan maka persoalan marginalisasi bahasa Bali menjadi kenyataan.

Orang Bali tidak hanya kini memiliki pilihan bahasa lainnya tetapi juga mereka harus memandang Bahasa Bali tidak lagi memadai. Orang Bali menghadapi kenyataan untuk beralih bahasa. Inilah persoalan berat bahasa Bali. Pada sisi lain ketika pemerintah ingin menyelamatkan bahasa Bali dengan mengangkat penyuluh bahasa, walaupun ini sebagai jalan tengah dari suatu kebijakan politik pendidikan dan kebudayaan namun pada akhirnya justru menambah beban dalam perkara kebahasaan di Bali. Penyuluh bahasa Bali harus menyadari kondisinya sendiri. Ternyata mereka tidak murni memperjuangkan bahasa Bali karena itu mungkin tugas yang terlalu berat dan sementara itu yang paling dekat dengan kehidupan para penyuluh adalah bagaimana mereka bisa mendapat jaminan hidup yang layak dari gaji yang mereka terima sebagai penyuluh bahasa Bali. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum (Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts