Novel Lama Mlancaran ke Sasak Terlihat Epik di Panggung Kekinian

Singaraja, koranbuleleng.com | Sebuah novel lama, Mlancaran ke Sasak, karya Gde Srawana terlihat epic ketika dipentaskan dalam cerita teater di Singaraja Literary Festival (SLF) 2023, di panggung Sasana Budaya, Kawasan Museum Buleleng- Gedong Kirtya, Jumat 29 September 2023.

Ini sebuah alihwahana manuskrip lama menjadi bentuk yang baru yang dibangun dalam Singaraja Literary Festival (SLF) 2023 ini. Gunanya tentu untuk membangunkan pengetahuan dengan cara lain yakni dibunyikan hingga diapresiasi kembali, salah satunya roman Mlancaran ke Sasak yang diadaptasi ke aksipanggung teater ini. Mlancaran ke Sasak ini, dulunya adalah novel bersambung yang dicetak di majalah Djatajoe sekitar tahun 1936-1939.

- Advertisement -

Cerita ini awalnya tentang sebagai sebuah kegembiraan para pelancong ketika berwisata ke Pulau Lombok. Dalam cerita itu, hiruk pikuk pelabuhan Ampenan ditunjukkan dengan terang benderang. Ekspresi serta olahtubuh gemulai para penari di teater itu sudah membangun suasana menjadi lebih hidup walaupun beberapa dialog dalam aksi panggung ini menggunakan Bahasa Sasak dan membingungkan bagi sebagian orang awam.

“Naskah Mlancaran ka Sasak ini menggunakan bahasa Sasak di bagian pertama, namun pada bagian ketiga mulai terlihat logat kintamani dan bahasa sehari-hari, namun sekali lagi diksi yang digunakan sulit sekali” tutur Putu Ardiyasa, yang juga salah satu tim SLF 2023.  

Teater Mlancaran ke Sasak |FOTO : I GEDE GILANG WICAKSANA PUTRA|

Di cerita ini juga dikisahkan tentang cinta terlarang beda kasta. Romansa terlarang itu tergambar dalam perjalanan berwisata itu.

“Ini mengisahkan kisah cinta made Sarati dan Dayu Priya yang pada zaman dahulu dikatakan cinta terlarang. Cinta kasih yang dikemas oleh Gede Srawana, sudah mengungkapkan percintaan yang terlarang antara kasta yang berbeda” tutur Putu Ardiyasa.

- Advertisement -

Berbicara mengenai sastra yang terpendam kemudian dialihwahanakan menjadi sebuah pertunjukkan, maka akan semakin didengar dan dibaca oleh banyak orang. Wacana inilah yang ingin dibangun untuk membangkitkan kembali kualitas literasi melalui media- media lainnya di SLF ini.

Singaraja Literary Festival (SLF) yang digelar Mahima berkolaborasi dengan banyak pihak hingga menghasilkan sebuah festival kesusastraan. Membangkitkan manuskrip lama menjadi daya Tarik sastra di era kekinian.

Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, 29,30 September -1 Oktober 2023. SLF mampu menghadirkan ratusan pengunjung baik itu seniman, Mahasiswa dan sejumlah penulis internasional yang didatangkan oleh Ubud Writers.

FOTO :I GEDE GILANG WICAKSANA PUTRA

Di masa lalu, Singaraja dijuluki sebagai pusatnya intelektualnya bangsa, pusat dilahirnya para pemikir bangsa, ibukotanya sunda kecil, bahkan pustakawan pertama juga lahir di kota ini.

Gedung Kirtya yang menyimpan banyak sekali manuskrip lontar, namun yang lebih intens dalam meneliti dan mengkajinya adalah orang-orang luar negeri. Kondisi ini sebenarnya layak dipertanyakan karena justru warga lokal jarang mengetahui isi Gedong Kirtya. 

Inilah alasan mengapa SLF menyelipkan pertunjukan teater, tari dan wayang yang manuskripnya disimpan di Gedung Kirtya.

“Kami dari Yayasan Mahima Indonesia, membuat gagasan Singaraja Literary Festival ini sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sendiri. Tujuan utama festival ini ialah menghidupkan kembali teks-teks itu dalam berbagai bentuk seni pertujukan, karya sastra baru, teater, film dan sebagainya” ungkap Kadek Sonia Piscayanti, Directur SLF. (*)

Penulis  : Lily Darmayanti

Editor    : I Putu Nova Anita Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts