Pura Negara Gambur Anglayang Simbol Pemersatu Jagad Nusantara

Singaraja, koranbuleleng.com| Kawasan suci Pura Negara Gambur Anglayang yang berlokasi di wilayah Pantai Kuta Banding, Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng memiliki beragam keunikan. Ada simbol keberagamaan dalam deretan pelinggih yang berjejer tanpa sekat dari sisi utara ke selatan.

Konon, Pura Negara Gambur Anglayang adalah tempat suci tertua yang ada di Desa Kubutambahan. Masyarakat setempat sering juga menyebut Pura Negara Gambur Anglayang sebagai Pura Pancasila dan Pura Multikultur. Mengapa disebut demikian?

- Advertisement -

Ini dikarenakan, tempat suci yang berdiri di tepian pantai wilayah Kuta Banding ini memiliki sederet pelinggih dengan simbol etnik dan agama berbeda, sehingga Pura Negara Gambur Anglayang sering juga disebut sebagai Pura Multikultur.

Terdapat delapan bangunan pelinggih yang terletak di jeroan (dalam) Pura Negara Gambur Anglayang. Kedelapan bangunan pelinggih inilah yang mencerminkan keragaman etnik dan agama di nusantara. Keseluruhan bangunan itu pun memiliki corak dan ornamen yang berbeda antara satu dengan lainnya, seakan membawa mewakili suku, ras dan agama tertentu

Deretan bangunan pelinggih di Pura Negara Gambur Anglayang diantaranya bernama, pelinggih Ratu Bagus Sundawan, kemudian pelinggih Ratu Bagus Melayu , juga pelinggih Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas, selanjutnya pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu. Dan bangunan pelinggih yang paling unik diantara deretan bangunan di Pura Negara Gambur Anglayang adalah pelinggih yang bernama Ratu Gede Dalem Mekah.

Menurut cerita dari salah seorang sesepuh desa setempat, Nyoman Laken (67), Pura Negara Gambur Anglayang berdiri pada sekitar tahun 1260 (abad ke-13). Dari kutipan sejarah, kawasan ini dulunya merupakan pelabuhan dagang yang sangat strategis dan dikenal dengan nama Kuta Banding.

- Advertisement -

Kawasan pantai Kuta Banding sendiri dulunya dikelilingi oleh benteng karena merupakan pusat perdagangan Nusantara. Kawasan ini pun selalu ramai didatangi para pedagang dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda-beda. Saat itu situasi dan kondisi perekonomian serta hubungan dagang sangat lancar.

Masih cerita Laken, hingga pada suatu ketika ada sebuah perahu layar berpenumpang beragam etnis bersandar di kawasan perdagangan Kuta Banding dengan tujuan membeli hasil bumi berupa rempah-rempah.

Usai melakukan transaksi, mereka pun hendak bertolak dan melanjutkan perjalanan. Namun tanpa diduga, baru beberapa jengkal perahu itu bertolak dari pantai Kuta Banding, para penumpang terdengar berteriak. Tiba-tiba perahu itu bocor, hingga memaksa mereka untuk kembali menepi di pantai Kuta Banding.

Berhasil menepi, para awak kapal meminta bantuan para penduduk setempat untuk ikut memperbaiki kapal. Segala upaya dan usaha dikerahkan saat itu, namun akhirnya usaha itu pun ternyata sia-sia. Para penumpang yang mayoritas adalah kaum pedagang itu pun mulai gelisah.

Dalam kekalutan itu, salah satu awak kapal kemudian mengajak seluruh penumpang untuk turun dan melakukan persembahyangan di sebuah bangunan pelinggih yang berada di pesisir Kuta Banding. Dalam persembahyangan itu, para pedagang kemudian memohon kekuatan dan keselamatan agar usaha mereka dilancarkan. Dihadapan bangunan pelinggih, para pedagang itu pun mengutarakan kepasrahan mereka, hingga terucap sebuah kaul (janji).

“Dalam kaul yang mereka ucapkan itu berbunyi, bilamana perjalanan mereka nantinya bisa selamat dan usahanya sukses, para pedagang berjanji mengakui, percaya serta meyakini keberadaan bangunan pelinggih di pantai Kuta Banding. Mereka pun juga akan membangun tempat suci untuk memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa sebagai Ciwa,” kata Laken kepada koranbuleleng.com ,  Minggu, 19 Februari 2017.

Pria yang sudah lebih dari 30 tahun ngayah di Pura Negara Gambur Anglayang juga menyebutkan bahwa kawasan Pura Negara Gambur Anglayang yang terletak di pantai Kuta Banding sejak dahulu dipercaya sebagai tempat yang strategis.

Selain itu, kawasan suci Pura Negara Gambur Anglayang juga mengandung unsur spiritual. Suggesti itu pun telah banyak dibuktikan oleh kesuksesan yang telah diraih oleh para pemedek yang terjun di dunia usaha, khususnya menekuni bidang perdagangan.

“Banyak pedagang yang percaya, bahwa Pura Negara Gambur Anglayang bisa memberi peruntungan bagi kehidupan mereka. Meski, berlainan keyakinan dan kepercayaan. Para pemedek kadang menyebut Pura ini dengan nama Pura Pancasila, namun sering juga disebut dengan Pura Multikultur,” ungkapnya.

Kelian Krama Pura Negara Gambur Anglayang, Gede Sumuh (78) ketika dikonfirmasi juga mengungkapkan hal senada. Pura Negara Gambur Anglayang memiliki tiga luasan tempat yang dikenal dengan Tri Mandala (jeroan, jaba tengah, jaba sisi) dengan diatas tanah seluas 240 meter persegi. Acara pujawalinya sendiri jatuh pada Wuku Buda Wage Kelawu dan nyejer selama tiga hari.

Para pemedek yang nangkil berasal dari berbagai agama, dan tidak saja tinggal di Bali bahkan di luar Bali. Pura Negara Gambur Anglayang seperti diketahui menyimbolkan kerukunan antar umat agama karena keberagaman bangunan pelinggih hingga didatangi banyak pedagang dari berbagai wilayah, karena dipercaya bisa memberi peruntungan bagi kehidupan mereka.

Selain unik, terkadang salah satu bangunan pelinggih menghadirkan unsur mistis. Seperti pada bangunan pelinggih Ratu Bagus Sundawan yang mewakili unsur umat Kristen.

“Pelinggih Ratu Bagus Sundawan ini sering mepaica wastra geringsing. Setelah wastra selesai digunakan biasanya ditaruh kembali di sokasi. Ajaib, wastra tersebut hilang secara misterius,” ucap Sumuh.

Kejanggalan itu pun kemudian terjawab, ketika piodalan digelar. Mendadak, wastra itu kembali dan sudah berada di tempat penyimpanan semula. Sokasi yang biasnya digunakan untuk penyimpanan wastra geringsing itu tersimpan di dalam gedong penyimpenan dan ruangan itu sudah tertutup rapat.

“Ajaibnya seperti itu, sudah terjadi berkali-kali dan kejadiannya disaksikan oleh krama pemedek. Bahkan, jika beliau menghendaki wastra baru, tiba-tiba saja ada wastra baru, dan wastra lama wajib digantikan dengan yang baru untuk Pelinggih Ratu Bagus Sundawan,” terangnya.

Kejadian mistis lainnya biasanya terjadi pada bangunan pelinggih Ratu Ayu Syahbandar yang notebene merupakan pelinggih umat melayu atau cina.

Menurutnya jika terjadi kerauhan atau nglingsenin, orang yang kerauhan akan berbicara bahasa cina atau melayu dan harus dicarikan penerjemah bahasa cina untuk mengartikan tatakrama penghulu  kata-kata dari orang yang kerauhan tersebut.

Seperti kepercayaan yang diyakini, Ratu Agung Syahbandar merupakan penguasa pelabuhan yang menguasai bidang perekonomian. Ada simbol dalam wujud orang tinggi mengunakan topi dengan menjinjing tas (saudagar).

Namun yang paling menyita perhatian adalah yang melinggih di Pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah sebagai simbol unsur Islam.

“Pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah ditunjukan untuk umat yang beragama Islam dan banyak Umat Islam sering tangkil atau datang ke  pura Negara Gambur Anglayang
dan pelinggih Ratu Agung Dalem Mekah adalah tempat umat islam untuk sembahyang. Pemedek yang datang bukan saja dari wilayah Bali, bahkan dari jawa langsung datang kesini. Mereka mengaku mendapatkan pawisik” jelasnya.

Kejanggalan lainnya di Pura Negara Gambur Anglayang adalah tentang bendera merah putih. Konon, bendera yang berukuran 100 x 120 cm itu sudah ada secara tiba-tiba. Ada sisi unik lainnya, biasanya pada sebuah bendera pastinya terdapat jaritan. Namun berbeda dengan keberadaan bendera merah putih yang ada di Pura ini. Bendera itu, sama sekali tidak nampak adanya jaritan yang menyambungkan warna merah dan putih.

“Biasanya, bendera merah putih itu kedua kainnya dijarit. Namun yang ini (bendera) tidak, sama sekali tidak nampak jaritan. Seperti bendera itu disablon, namun jika di tahun 1993 itu kan belum ada tukang sablon,” ungkap Sumuh.

Gede Sumuh pun berharap, keberadaan Pura Negara Gambur Anglayang dapat memberikan  teladan untuk generasi penerus bangsa dalam menjaga keutuhan dalam kebhinekaan bernegara.

“Astungkara, kerukunan yang tercermin di Pura Negara Gambu Anglayang bisa diteladani oleh generasi mendatang dalam membina kerukunan antar umat beragama di Bali, khususnya di Kubutambahan,” tutupnya. |NH|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts