Menarikan Tangan Diatas Daun Lontar

Proses bimbingan menulis aksara bali diatas daun lontar |FOTO : I Putu Nova A.Putra|

Singaraja, koranbuleleng.com |

“Tulislah terus dengan senang hati aksara Bali ini, menulis aksara Bali tidaklah menakutkan. Dan itu bukan beban, tetapi inilah cara kita berbakti dengan Sang Hyang Aji Saraswati.”

- Advertisement -

Kata pengantar itu disampaikan langsung oleh seorang Dosen Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali, STAH Negeri Mpu Kuturan, Ni Made Arie Dwijayanti saat membimbing sejumlah remaja sekolah di program Belajar Bersama di Museum, Cara Menulis di Atas Daun Lontar yang digelar oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Gedong Kirtya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, 12-13 Nopember 2020.

Arie yang juga alumni jurusan Sastra Jawa Kuno, Universitas Udayana, Bali mengajar anak-anak remaja itu belajar bersama di hari kedua. Ajakannya terdengar menyejukkan bagi para peserta yang ikut belajar nyurat lontar.

Bagi para remaja peserta belajar bersama ini, pengalaman menulis lontar ini baru pertama kali dilakukan. Dan diawal-awal pasti memang sangat susah.

Namun, Arie terlihat membimbing peserta dengan gaya yang santai sekali.  “Buatlah tangan kita seolah menari di atas daun lontar itu. Dalam ajaran sastra jawa kuno atau kawi ini termasuk pelajaran yoga atau meditasi. Anggap tangan kita menari saja.” ajak Arei Dwijayanti,  Jumat 13 Nopember 2020.

- Advertisement -

UPTD Gedong Kirtya, Dinas kebudayaan Kabupaten Buleleng menggelar program ini sebagai upaya untuk melestarukan manuskrip kebudayaan Bali. Anak-anak milenial ini menjadi tulang punggung kelanggengan aksara Bali di masa depan sehingga mereka harus “dicekoki” dengan program yang bisa menjadikan aksara Bali  masuk dalam ingatan mereka hingga akhir hayat.  

Menulis aksara diatas daun lontar

Dalam kesempatan itu, Arie membimbing tentang tata cara menulis aksara Bali diatas daun lontar. Beberapa benda yang harus disiapkan dalam menulis aksara diantas lontar yakni, dulang sebagai meja penyangga, pengerupak atau pisau kecil sebagai alat menulis, lungka-lungka atau bantalan, serta tireh dan tentu saja harus ada daun lontar. Di daun lontar biasanya sudah ada lubang yang berfungsi memasukkan tali untuk mengikat daun lontar sebagai bagian halaman dengan halaman lain.

Arie menyatakan menulis aksara bali diatas daun lontar akan lebih baik dengan menggunakan pola setengah lingkaran agar aksara terlihat proporsional. Tehnik setengah lingkaran ini akan memudahkan ujung jari dan siku saat menulis dan tidak membuat cepat capek.  

“Ibu jari tangan kanan berada di sisi kiri. Telunjuk selalu berada di bagian atas pengerupak sementara jari tengah berada kanan pengerupak. Fungsinya, ibu jari kita mendorong ke kanan, atau membantu mendorong ke atas.  Ketika ke atas, kemudian telunjuk mendorong ke bawah, ibu jari mendorong ke samping membantu keatas, dan itu berulang-ulang,” terang Arie memberikan petunjuk.

Sementara tangan kiri bisa digunakan untuk memegang daun lontar atau alas yang diletakkan diatas lungka-lungka atau bantalan itu. 

“Jadi kedua tangan kita ini bersinergi, menyeimbangkan semuanya saat menulis aksara di atas lontar,” ungkapnya.

Hasil dari tulisan lontar ini akan didokumentasikan oleh UPDT Gedong Kirtya. Gedong Kirtya merupakan salah satu museum lontar yang dimiliki Kabupaten Buleleng. Bahkan, Gedong Kirtya dinyatakan sebagai museum lontar satu-satunya yang ada di dunia. Walaupun, sebagian isi lontar dari gedong yang berdiri di jaman Pemerintahan Hindia Belanda ini, sudah ada yang ditempatkan di gedung Pusat Dokumentasi Provinsi Bali, dan sebagian berada di sejumlah museum di luar Negeri.

Dalam catatan sejarah, Gedong Kirtya dibangun di Singaraja oleh seorang warga Belanda yang bernama L.J.J Caron. L.J.J Caron merupakan pejabat residen Bali dan Lombok, di era Pemerintah Hindia Belanda. Dia datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra (lontar) yang ada di seluruh Bali. Itu terjadi pada 2 Juni 1928.  

Disitu terjadi diskusi tentang upaya-upaya untuk melestarikan sastra Bali dan Lombok. Hingga akhirnya terbentuklah perpustakana di bali pada tanggal 14 September 1928.

Perpustakaan itu awalnya diberi nama “Kirtya Lefrink – Van der Tuuk” yang mempunyai misi untuk menjaga kesenian sastra tersebut. F.A Lefrink merupakan Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada masa lalu sangat tertarik dengan Kebudayaan Bali.  Dia juga sering membuat tulisan mengenai Bali dan Lombok.  Sementara Dr. H.N Van der Tuuk, seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai perpusatkaan dan sekarang dikenal sebagai Museum Gedong Kirtya.

Kepala UPTD Gedong Kirtya Dewa Ayu Putu Susilawati menjelaskan sampai sekarang ada 2.022 cakep lontar dengan sejumlah klasifikasi diantaranya Weda, Agama, Wariga, Lelampahan, Babad, Ssadha, Ithihasa dan Tantri.

Perawatan seluruh lontar yang ada di Gedong Kirtya masih dengan cara-cara tradisional agar materialnya tidak cepat rusak. Seperti menggunakan kemiri dan minyak sereh. Di dalam keropak diisi media berupa kapur barus agar tidak termakan rayap.

Susilawati mengungkapkan agenda belajar bersama cara menulis aksara diatas daun lontar ini merupakan program pelestarian kebudayaan. Walaupun digelar ditengah Pandemi Covid-19, namun seluruhnya menerapkan protokol kesehatan.

Kedepan, UPDT Gedong Kirtya berencana untuk masuk ke pedesaan untuk mengedukasi remaja tentang lontar dan cara menulis aksara diatas daun lontar. Lontar merupakan salah satu warisan kebudayaan dalam rupa manuskrip yang harus dirawat sepanjang masa.

“Di dalam lontar ini terdapat berbagai ilmu pengetahuan dari leluhur kita, yang semestinya memang harus diketahui oleh generasi selanjutnya,” ujar Susilawati.

Sementara, penulis lontar lainnya, I Gusti Bagus Sudiastha mengungkapkan agenda belajar bersama cara menulis aksara Bali diatas lontar ini sangat positif. Belajar menulis lontar harus sabar dan tidak bisa terburu-buru. Baik dimulai dari cara memegang lontar, mmegang pengerupak hingga proses menulis.

“Saya bangga ada anak yang sudah mau belajar. Walaupun baru mengenal menulis di atas lontar dengan pengerupak, namun hailnya seperti menulis di kertas. Ini mencirikan semangat mereka bagus melestarikan warisan leluhur ini,” ujar Sudiastha.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara mengatakan belajar bersama ini untuk melestarikan warisan budaya leluhur berupa manuskrip. “Dengan mereka mengenal, tentu mereka akan sayang dan peduli dengan khasanah budaya utamanya manuskrip lontar ini,” ucap Dody.

Dody menegaskan, kegiatan ini akan rutin digelar setiap tahun dengan menyasar anak sekolah sebagai generasi pewaris warisan kebudayaan.

Sementara Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana mempunyai arah pembangunan untuk menjadikan Museum Gedong Kirtya menjadi salah satu pusat penelitian dan pelestarian manuskrip kuno. Dengan hal, Gedong Kirtya akan menjadi rujukan para Pemikir Bali dan Dunia.

“Ini sangat penting, bagaimana kita bisa menggali pelajaran dari leluhur kita yang tertuang di lontar-lontar tersebut. Karena masih banyak hal-hal yang perlu kita ketahui dari peninggalan leluhur untuk mempertahankan warisan budaya leluhur kita,” ungkap Bupati.

Pewarta : I Putu Nova A. Putra  

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts