Catatan PPKM Darurat dari Singaraja| Kaguta Musevani dan Tukang Sol Sepatu

Dalam salah satu novel Pramoedya Ananta Toer, novel Pulau Buru atau tetralogi Buru ada ditulis tentang orang Jawa. Begini kata-kata Pramuoedya kurang lebih jembatan dan jalan raya mana di Indonesia yang tidak dibangun oleh orang Jawa? Praoedya menegaskan bahwa orang Jawa itu tersebar di seluruh Indonesia dan bahkan hingga ke mancanegara. Orang Jawa meninggalkan tanah dan rumahnya.

Mungkin “tokoh” yang akan dirceritakan dalam tulisan ini salah seorang dari mereka yang dimaksud Pramoedya. Suatu senja di sebelah barat kota Singaraja (12 Juli 2021 ketika Jawa Bali dibikin aneh dan mencekam oleh PPKM Darurat, tepatnya di Indomaret Satelit, di trotoar berdebu depan sebuah tokok yang wajib tutup. Seorang tukang sol sepatu sedang bekerja di sisi Jalan Ahmad Yani. Sepatu-sepatu berbagai ukuran model dan warna, aneka kerusakan, berserakan di atas trotoar. Demikian pula dua kotak hitam yang dibiarkan terbuka penuh dengan peralatan seorang tukang sol.

- Advertisement -

Tentu sulit, pada zaman belanja online ini melihat para tukang sol sepatu berkeliling kota atau buka kios seadanya di sudut-sudut. Pemandangan itu pernah menjadi identitas kota-kota baru tumbuh di Indonesia semasa Orde Baru. Ketika itu sepatu mungkin masih mahal dan hanya dijual di toko-toko besar milik orang Cina atau toko legendaris, toko Bata. Sepatu ketika itu harus dipelihara dan dijaga.

Kerusakan karena pemakaian tidak harus dibuang dan membeli sepatu baru tetapi diperbaiki. Sikap inilah membuka lahirnya pekerjaan tukang so. Bahkan sepatu baru pun harus dipermak dengan minta tukang sol menjahit ulang sepatu tersebut pada bagian soalnya sehingga lebih meyakinkan si pemakai karena bagi si pemakai lem sepatu itu tidak cukup kuat. Begitulah cerita sedikit tentang tukang sol sepatu yang masih ada dalam ingatan dan mungkin masih ada beberapa orang di kota Singaraja.

Mas Sul adalah nama pemberian para pelanggannya. Nama aslinya sendiri adalah Suryadi. Ia meninggalkan desanya, Sukodono,  di kabupaten Lumajang Jawa Timur merantau ke Sulawesi dan di beberapa bagian Indonesia lainnya sebagai pedagang bakso.  Akhirnya bekerja sebagai tukang sol sepatu di Singaraja. Kehadirannya setidaknya membuktikan bahwa ia masih dibutuhkan ketika sepatu begitu murah dan mudah didapat di era belanja secara daring. Demikianlah, seperti senja ini Suryadi adalah bagian dari sebuah kota Bali Utara.

Dari obrolan dengan Tim koranbuleleng.com, I Wayan Artika tampak sikap satirisnya kepada PPKM Darurat yang sedang diterapkan di Jawa dan Bali. Ia tidak sedih apa lagi protes menyalahkan keadaan, pemerintah, atau kaum politisi. Ia tetap bersemangat dan bergembira menjalankan pekerjaannya walaupun tahu wabah sedang menjadi hantu dunia. Diam-diam Suryadi kiranya yang paling mafhum akan makna sebuah pidato kelas dunia tentang corona yang diucapkan oleh Presiden Uganda, Kaguta Museveni.

- Advertisement -

Teknolologi digitalisme membuat manusia mengekspresikan hidup dengan segala dimensinya di atas layar sentuh, dengan kata, gambar, warna, suara, dan format; lalu mengunggahnya ke media sosial dan ketika itu juga dunia tahu bahwa seseorang sedang berkemah di tepi danau. Tapi kotak sol sepatunya tempat yang menyimpan berbagai peralatan seperti benang nilon berbagai ukuran, beberapa jarum tajam,  lilin untuk melicinkan benang menembus karet di sol sepatu, dan yang tidak kalah penting batu pengasah mata jarumnya. Kotak kotak ini bercerita atau tempat Suryadi mengekspresika satir-satirnya. Apa yang dirasakan atau apa yang ia pahami tentang pandemi ia tulis di sini. Jadi, bukan di layar sentuh gawai pintar. Dia menulisnya pada ruang yang terbatas dengan cat cat putih di atas dasar hitam yang kontras. Kotak-kotak itu berkeliling kota Singaraja menyertai Suryadi.

Mungkin pembaca Koranbuleleng com pernah bertemu ekspresi jujur pada kotak sol sepatu maka inilah Suryadi. Mungkin orang zaman ini melihatnya lucu atau aneh. Ekspresi verbal satiris Suryadi tentang Corona dia tulis dengan segala apa adanya di atas sikap menerima dengan tiada beban walau sebenarnya satir yang pahit. Ia sungguh menjadi seorang yang sngat bersahabat dengan pandemi dan ikhlas dari pretensi untuk saling menyalahkan atau sikap cemen ketika harus mengemis kepada pemerintah demi BLT. Suryadi berkeliling kota bersama ekspresi jujurnya yang sesungguhnya adalah satir rakyat kecil di tengah wabah. Orang-orang membaca secara langsung, secara analog sebagai teknologi dari masa silam sejak mesin cetak ditemukan oleh utenberg.

Kotak-kotak sepatu Suryadi seperti sebuah jeda walaupun sejatinya sangat pendek dari digitalisme untuk kembali sejenak ke dunia analog. Pilihan Suryadi dalam mengekspresikan diri ketika ia adalah bagian dari wabah ini menjadi saksi sejarah, memang sangat penting untuk direnungkan, sebagaimana dunia sedang membaca dan mengamini makna kata-kata Kaguta Museveni.

Ekspresi adalah hal yang lumrah namun medianya adalah pilihan yang berani menantang masa kini, terlepas apapun alasannya. Suryadi seperti berdiri di masa silam dan menarik manusia di sekitarnya yang digitalis ke dekatnya. Kata-kata Suryadi yang ditulis di kotak sepatunya adalah kata-kata kata-kata di seluruh dunia tentang corona.  Artinya Suryadi adalah bagian dari globalisme wabah.

Tetapi Suryadi menolak menjadi korban atau dikorbankan. Inikah yang disebut dengan sikap berdamai dengan wabah? Mungkin Suryadi yang tahu jawabannya. Bedanya Suryadi dengan siapapun adalah semua manusia memilih menjadi korban tetapi Suryadi tidak. Jika wabah itu air maka Suryadi tidak membendungnya atau melawan arusnya tetapi sebaliknya ia berjalan di tepi aliran air itu. Bagi Suryadi wabah itu adalah satir.

Suryadi tidak merasa menjadi korban dan Suryadi bukan siapa-siapa di kota ini sehingga ia tidak perlu menuduh siapapun bersalah sebagaimana tuduhan, dugaan, tudingan bersimpang siur di media sosial yang dilakukan oleh dari kalangan musisi, pedagang kaki lima, buruh hingga politisi di parlemen negara. Tidak ada yang arif seperti Suryadi dan Kaguta Museveni, memilih berjalan di jalan satir ketika mereka menolak menjadikan dirinya korban. Yang penting dari sikap Suryadi adalah tetap berjalan dan bekerja seperti senja ini dengan ceria sambil menyantap kerupuk. (*)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts