Diplomasi Mr. Pudja Membawa Keberagaman Indonesia ke Dalam Dasar Negara

Singaraja, koranbuleleng.com |    Sebuah mobil jenis Fiat dengan cat berwarna biru yang sudah teramat kusam, masih dipajang di halaman Museum Buleleng. Mobil tersebut dulunya adalah kendaraan dinas dari Gubernur Sunda Kecil, Mr. I Gusti Ketut Pudja.  

Gubernur Sunda Kecil ini adalah putra daerah kebanggaan Bali. Putra dari pasangan orang tua I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna ini berasal dari Kelurahan Sukasada. Dia kelahiran Singaraja, 19 Mei 1908, silam.

- Advertisement -

Singaraja pernah menjadi pusat ibukota Pemerintahan Sunda Kecil, yang mewilayahi beberapa provinsi di Indonesia timur. Jejak sejarah Sunda Kecil juga kini diabadikan dalam museum Sunda Kecil, di bekas Pelabuhan Buleleng, Singaraja.

Mr. Pudja merupakan orang Bali pertama yang berhasil menyandang gelar sarjana hukum. Ia, seperti juga kebanyakan golongan kelas menengah atas di Bali dan Jawa berhasil mendapatkan akses pendidikan Barat yang memadai.

Ayahnya, I Gusti Nyoman Raka adalah seorang punggawa atau kepala distrik di Singaraja, Bali. Ketika menginjak usia sekolah menengah, ayahnya memasukkan putra bungsu dari lima bersaudara itu ke Algemene Middelbare School (AMS).

Setelah berhasil menamatkan pelajaran di AMS pada tahun 1929,  Pudja yang sudah beranjak dewasa kala itu, melanjutkan sekolah hukum ke Batavia. Gelar sarjana hukum atau yang biasa disebut meester in de rechten berhasil didapatkan dari Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1934. Oleh sebab itu, seperti Muhamad Yamin dan Soepomo serta beberapa founding fathers, ia berhak menyandang gelar “Mr” di depan namanya. 

- Advertisement -

Setahun setelah menamatkan pendidikan sekolah hukum, pada tahun 1935, ia mulai bekerja di Kantor Residen Bali dan Lombok. Setahun kemudian, ia ditempatkan di Raad Van Kerta, yang pada masa itu merupakan kantor pengadilan yang ada di Bali.

Kemampuan dengan bukti titel pendidikan barat serta berasal dari kaum priyayi Bali, membawanya pada kiprah dan pergerakan politik nasional. Hal itu ia mulai saat menyumbangkan perannya dalam perumusan naskah teks proklamasi kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda, 16 Agustus 1945 silam. 

Disitu, berkumpul golongan tua dan muda. Dua generasi tersebut berdiskusi untuk menyusun naskah proklamasi dan akhirnya dibacakan pada 17 Agustus 1945.  

Dua hari setelah kemerdekaan, terjadi Sidang PPKI II pada 19 Agustus 1945. Dalam sidang tersebut, juga membahas pembentukan wilayah Indonesia ke dalam 8 provinsi. Mr. Pudja diangkat sebagai Gubernur wilayah Sunda Kecil oleh Soekarno.

Dorongan-dorongan politik sejak era pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945 juga membawanya menjadi satu-satunya tokoh Bali yang ikut terlibat dalam polemik ideologis perumusan dasar negara Pancasila melalui sebuah badan bentukan Jepang, Dokuritsu Junbi Cosakai atau lebih dikenal dengan Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Momen-momen I Gusti Mr. Ketut Pudja dalam sidang BPUPKI yang kemudian melahirkan panitia sembilan ini menjadi titik sentral lahirnya kemajemukan di Indonesia

Ia, selain A.A. Maramis, seorang Kristen yang berasal dari Manado, juga mewakili kaum minoritas Hindu di kawasan Sunda Kecil yang mencakup wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Atas keikutsertaan dan juga lobi-lobi politiknya lah, redaksi 7 kata di dalam sila pertama yang disetujui Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 berhasil ditiadakan dengan alasan-alasan kebhinekaan Indonesia. Selanjutnya, Pancasila versi baru itu disepakati sebagai dasar negara Indonesia pada sidang PPKI I pada 18 Agustus 1945.

Menurut sejarawan Universitas Pendidikan Ganesha, Bapak I Putu Hendra Mas Martayana, S.Pd.,M.A., jejak kepahlawanan Mr. I Gusti Ketut Pudja tidak bisa dikatakan kecil, sehingga wajar muncul apresiasi dari pemerintah dengan menjadikannya ikon pada uang pecahan 1.000 di tahun 2016, serta penetapan pribadi Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai pahlawan nasional sejak tahun 2011. 

Jika melihat keikutsertaannya dalam polemik ideologis perumusan pancasila, peran sentralnya mengarah pada peristiwa sejarah yang dilabelkan sebagai upaya untuk mempersatukan unsur-unsur dari Republik Indonesia yang majemuk, multikultural, dan heterogen.

“Mr. Ketut Pudja ini ditonjolkan oleh sejarahwan lebih ke dalam konteks mempererat kesatuan dan persatuan bangsa.”ujar Hendra.

Dialektika pemikiran Mr. I Gusti Ketut Pudja hadir ketika perumusan teks Pancasila pasca Sidang BPUPKI I pada 29 Mei-1 Juni 1945 yang kemudian melahirkan perdebatan rumit yang pada akhirnya menjadi awal lahirnya konsensus sejarah tentang keIndonesiaan.

Perjuangan Mr. Ketut Pudja patut menjadi suri tauladan untuk generasi muda masa kini. Eksistensi Mr. Ketut Pudja dalam mengkemas dan merangkum nilai-nilai wawasan kebangsaan adalah contoh bagi generasi muda agar terus berupaha mempertahankan dan meningkatkan rasa nasionalismenya. “Tanpa Pancasila, maka Indonesia tidak ada. Dan Mr. Ketut Pudja hadir pada momen-momen perumusan nilai-nilai Pancasila tersebut.” tambahnya

Nilai-nilai kepahlawanan yang bisa diteladani dari pribadi Mr. I Gusti ketut Pudja tentu tidak jauh dari tugas birokrasi yang diemban dan dibebankan kepadanya setelah Proklamasi dengan pergerakan politik yang mengikutinya.  

Bagi Pudja, menyatukan kemajemukan di bawah panji Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan perkara mudah. Di samping itu, Pudja mendapat perintah khusus untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan Republik Indonesia ke pelosok negeri, khususnya kawasan sunda kecil dengan harapan mendapatkan dukungan moril dari masyarakat terhadap kehadiran negara Indonesia yang baru lahir. 

Keteladanan multikultur pada diri Mr. I Gusti Ketut Pudja bisa menjadi pembelajaran bagi generasi muda masa kini. Kiprahnya dalam mengkemas dan merangkum nilai-nilai wawasan kebangsaan adalah contoh nyata bagi usaha menjaga kelangsungan republik yang diraih dengan darah dan air mata.

Saat menjadi Gubernur Sunda Kecil, kemajuan yang begitu pesat terjadi ketika masa pemerintahan Sunda Kecil berpusat di Singaraja. Kala itu, Singaraja menjadi pusat kota termassyur dan sebagai pusat perniagaan maritim di wilayah Indonesia. Pelabuhan Buleleng adalah salah satu pelabuhan terbesar di wilayah Indonesia Timur atau Sunda Kecil kala itu.

Wawasan bahari yang menjadi pintu masuk bagi kebudayaan-kebudayaan asing, dan menyebabkan cakrawala masyarakat semakin luas. “Wawasan kebaharian kita semakin luas, bisa dilihat dari eksistensi Pelabuhan Buleleng kala itu sebagai sentra perkekonomian Bali.” ungkap Hendra.

Mr. I Gusti Ketut Pudja juga pernah memangku jabatan penting di Departemen Dalam Negeri dan sempat menjadi Ketua BPK hingga masuk ke masa purna bakti di tahun 1968.  

I Gusti Ketut Pudja meninggal dunia 4 Mei 1977 pada usia 68 tahun.  Atas jasanya Presiden Soeharto kala itu menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Pada tahun 2001 Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor 113/TK/2011. |SY|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts