Akhir Kisah Sebuah Toko Buku

Bagi seorang pecinta buku, toko buku adalah tempat favorit. Melebihi perpustakaan, toko buku jauh lebih dinamis karena selalu menyediakan informasi buku baru. Tempat ini selalu menarik para pecinta buku. Mengunjungi toko buku mirip rekreasi intelektual. Sering kali terjadi kejutan: bertemu buku bagus! Tanpa pikir panjang, langsung dibeli. Puas rasanya dan tidak sabar untuk segera membaca. Bahkan langsung “diintip” di hadapan kasir, sambil menanti struk pembayaran dan susuk.

Tulisan ini berkisah tentang akhir cerita sebuah toko buku yang memiliki jaringan luas di Indonesia, dengan semboyan pasar “toko buku discount”. Toko buku Toga Mas mendapat posisi terhormat di jajaran pemasaran buku. Di seluruh kota dengan universitas, toko yang tidak menggunakan pendingin ruang ini selalu hadir, biasanya menempati bangunan ruko modern dengan 2-4 los, terkadang sampai lantai II, seperti yang ada di Kota Malang.

- Advertisement -

Kota Singaraja dengan kampus-kampusnya, terutama yang terbesar adalah Universitas Pendidikan Ganesha, dipilih oleh manajemen Toga Mas dan berdirilah toko buku yang lumayan besar. Awal operasi, toko berada di jalan Udayana Barat, dekat dengan Kampus Pusat Undiksha. Suasana toko sangat nyaman. Pada bagian belakang, masih dalam satu area dengan rak-rak buku, tersedia tempat baca yang sangat nyaman. Para pengunjung bisa membaca buku berlama-lama di tempat ini, sebelum akhirnya memutuskan membeli atau mengembalikan sebuah buku yang dincarnya ke rak.

Memang kunjungan ke toko buku bagi pecinta buku tidak harus membeli. Melihat-lihat saja cukup memberi pengalaman yang bagus dan menimbulkan perasaan puas di hati. Bisa juga berkeliling rak dan lorong melihat buku-buku yang dipajang untuk sesekali mengambil yang  menarik, mengamati, dan membaca sampul belakang, atau jika boleh membuka segel buku, lalu mulai membaca, dan mengembalikan ke rak semula. Maka tempat baca sebagaimana disediakan oleh toko buku Toga Mas ketika berada di Jalan Udayana adalah tempat yang nyaris seperti kafe.

Para pecinta buku (yang terbuat dari kertas), produk peradaban yang lahir dengan tonggak penemuan mesin cetak di Jerman, kini sedang mengalami masa senjakala. Buku kertas terdisrupsi oleh teks digital yang multimoda. Beberapa buku kertas terbawa ke dalam arus Revolusi 4.0. hanya untuk mencoba bernegosiasi dengan sejarah. Namun lebih banyak lahir buku-buku baru produk generasi baru. Generasi pecinta buku kertas tidak lagi bisa mengunjungi toko buku. Toko buku yang identik dengan buku kertas juga sedang jatuh miskin dan menunggu bakrut. Tidak banyak buku yang dicetak atau terbit sejak disrupsi terhadap kertas terjadi oleh teknologi digital. Generasi baru pecinta buku kertas tidak lahir lagi. Maka, industri buku kertas pun nyaris ambruk. Toko-toko buku yang pernah mencuri keuntungan paling besar, hingga 35% dan penulis yang paling malang nasibnya dalam pasar buku yang kapitalistik, sedang dimakan oleh dosanya sendiri.

Pecinta buku kertas sepertinya telah sampai pada akhir sebuah sejarah. Generasi perbukuan adalah generasi baru yang dilahirkan oleh teknologi dan revolusi generasi keempat.

- Advertisement -

Hal inilah yang dialami oleh Toko Buku Toga Mas di Singaraja. Sebelumnya telah bertahan lama di kota ini dan menjadi sahabat para pecinta buku; memungkinkan kota ini selalu mendapat informasi buku baru; lima belas tahun sebelum peradaban kertas didisrupsi oleh peradaban digital. Hal itu terjadi sejak awal beroperasi di Jalan Udayana Barat, di depan Gedung Kesenian Gde Manik, lalu pindah di jalan yang sama namun di sebelah timur, tepatnya di depan GOR Buana Patra, yang pada akhirnya, sampai kisahnya berakhir di kota Singaraja, beroperasi di Jalan Kartini.

Di sebuah ruko berlantai II ini, kisah panjangnya akan ditutup, di bulan-bulan awal 2022. Hari itu, 15 Februari, pintu toko masih terbuka sedikit dan masih bisa melayani pembeli beberapa barang yang belum dimasukkan ke dalam kardus untuk dikirim ke Kota Denpasar. Sementara itu, hampir semua rak sudah kosong. Buku-buku telah dimasukkan ke kardus dan siap dikirim. Seorang karyawati dengan tekun mengepak barang. Ia masih sempat melayani pembeli yang “nyasar” walau bukan untuk beli buku.

Pemandangan sebuah toko buku menutup kisahnya di Jalan Kartini, Kota Singaraja, bagi para pecinta buku tentu adalah kisah yang menyesakkan dada. Benar-benar telah terjadi sebuah keruntuhan peradaban, yakni disrupsi yang dilakukan oleh dunia digital terhadap peradaban kertas. Sejarah buku kertas benar-benar menapaki ujung di depan mata. Kisah Toko Buku Toga Mas yang tengah mengemas kisahnya ke dalam ratusan kardus ini adalah sebuah kenyataan, yang meminjam istilah Fukuyama, “the end of history”. Ya, sejarah perdaban kertas harus berakhir tergantikan oleh peradaban digital. Kisah akhir toko buku ini memang kenyataan pahit bagi satu dimensi sejarah. Namun semua itu akan beralih ke masa perdaban yang lain. Betapa kejayaan era kertas, tidak bisa lagi dipertahankan dan sejarah menggantinya dengan era yang baru: digital dengan berbagai produk buku dan generasi digital.

Apakah sejarah akan berpihak kepada yang kalah? Tentu tidak. Sejarah bergerak pada suatu kekuatan baru yang memenangkan kekuatan lama. Dengan paradigma ini, kisah tutup buku yang benar-benar bukan lagi sebuah ungkapan, atau katakan saja tutup sejarah, dapat dimengerti sebagai sebuah kekalahan dan saat sejarah beralih, karena tidak ada lagi kontinyuitas, dan sebaliknya yang terjadi adalah diskuntinyuitas yang besar dan nyata.

Akhir sejarah membawa rasa kehilangan. Namun para pecinta buku mau tidak mau harus bisa melepaskan kenangan bersama Toko Buku Toga Mas. Toko ini benar-benar menutup sebuah kisahnya di Kota Singaraja, pernah menjadi bagian dari perjalanan kaum intelektual yang studi atau bermukim di kota ini.

Buku-buku koleksi terbaru memang tidak ada lagi. Ruko berlantai dua itu benar-benar tutup dan mungkin beralih fungsi menjadi kantor bank atau notaris. Papan nama dan sejumlah semboyan literasi pun tidak ada lagi. Buku-buku baru yang benar-benar hadir nyata secara organik di kota ini sudah akan benar-benar hilang pula.

Bercerita soal toko buku di Singaraja memang menjadi hal yang menunjukkan adanya kemajuan dalam bidang literasi. Guna Agung atau Indra Jaya adalah toko buku legendaris. Guna Agung memiliki koleksi sangat banyak untuk ukuran kota kecil Singaraja. Ketika Hardys berdiri, toko ini pindah untuk lebih modern karena akan menjadi bagian dari kehidupan dan dinamika sosial di sebuah mall kecil. Tetapi tidak ada yang persis tahu cerita kebangkrutannya. Toko Buku Guna Agung benar-benar hilang seperti ditelan bumi.

Tokok buku Rhika di dekat lampu merah perempatan A. Yani-Pramuka cukup lengkap menjual koran dan majalah, baik yang terbit di jakarta dan di Bali. Namun kini pula sudah nyaris bangkrut. Kios koran yang beralamat di Hotel Garuda juga sudah sejak lama tidak tentu rimbanya. Di Kota Seririt juga ada sebuah toko buku, menjual novel, dan aneka koran dan majalah yang juga sudah lama tidak terdengar ceritanya.

Toko Buku Toga Mas menutup semua kisahnya adalah kenyataan baru dalam sejarah ketika revolusi sedang terjadi pada periode satu dekade di awalnya. Arahnya jelas, perdabanan buku kertas tidak ada lagi. Buku juga akan mengalami definisi baru. Kandungan dan struktur teks mungkin akan ikut berubah mengikuti ideologi teknologi digital yang dikendalikan oleh kaum netizen atau generasi net, mereka yang ada dalam jaringan (web).  (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts