Menanti Efektivitas PP Nomor 70/2020, Senjata Baru Hentikan Predator Pedofilia

Di akhir tahun, Desemeber 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan aturan baru yang dibuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi,dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Hal ini dilakukan untuk menekan tingkat kejahatan terhadap anak korban dari tindakan pedofilia yang dilakukan oleh orang dewasa yang memiliki kelainan seks.

Aturan baru tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo serius dalam memerangi tindak kejahatan pedofilia, mengapa demikian karena tindak kejahatan tersebut dapat merusak fisik, selain itu dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pedofilia yang lebih parah adalah si korban akan mengalami gangguan pada psikis atau kejiawaan dari si korban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 adalah bentuk dari pelaksanaan atau pertimbangan dari pasal 81A ayat 4 dan pasal 82A ayat 3 yang berasal dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dari sini dapat dilihat bahwa kejahatan pedofilia sangat berbahaya dan kita sebagai Orang Tua wajib memantau, mengawasi, dan menjaga anak dari segi pergaulan dan  pertemanan agar anak kita terhindar sebagai korban pedofilia dari sang predator.

- Advertisement -

Kejahatan pedofilia merupakan kejahatan yang dimana si pelaku memiliki ketertarikan terhadap korban yang mayoritas adalah anak. Istilah anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang masih dibawah umur 18 tahun atau belum genap berusia 18 tahun. Alasan para pelaku atau predator pedofilia ini melalukan pelecehan atau persetubuhan kepada anak, karena anak merupakan subjek yang polos, rentan, dan lemah sehingga para pelaku atau predator dengan leluasa dapat melancarkan aksinya tanpa ada perlawanan yang berarti. Pelaku atau predator pedofilia ini biasanya melancarkan aksinya terhadap target atau mangsannya dengan cara mendekati, bersikap ramah, dan mengiming-imingi si korban dengan uang, permen, atau hadiah lainnya yang membuat si korban atau target merasa nyaman dan tidak berpikiran bahwa mereka akan menjadi objek seks yang akan dilakukan oleh sang pelaku atau predator pedofilia.

Penyebab pelaku atau predator pedofilia menjadi seorang pedofilia salah satunya adalah  pelaku dulu merupakan korban pedofilia yang tidak mendapatkan bantuan pemulihan terhadap piskisnya baik itu dari psikolog atau psikiater. Alasan mereka tidak mendapatkan pemulihan karena malu, dan yang pasti takut akan ancaman pelaku sebelumnya sehingga si anak ini menjadi seseorang yang bersifat introvert dalam arti mereka cenderung menutup diri pada orang dewasa entah dikarenakan rasa trauma yang tidak mendapat penanganan atau mereka merasa inferior setiap kali ingin berinteraksi dengan orang dewasa atau seusianya. Bisa juga pelaku bukan hanya saja berasal dari korban melainkan orang terdekat dari si korban tersebut mengapa demikian permasalahan terletak pada masa lalu pelaku saat masih menjadi seorang anak sering mendapatkan tekanan entah siksaan orang tuanya atau ejekan dari teman sehingga menimbulkan stress dan trauma yang menyebabkan tumbuh kembangnya terhambat dan si pelaku lebih memilih dengan mewujudkan seksnya dalam kesukaannya untuk berfantasi atau melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak karena pelaku merasa anak-anak dapat memberikan rasa nyaman daripada pelaku melakukannya dengan orang dewasa.

Dari kasus pedofilia yang pernah terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa tindak kejahatan ini sangat berbahaya dan perlu mendapat perhatian ekstra baik Pemerintah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan peran serta Orang Tua untuk bekerja sama menekan tindak kejahatan pedofilia semakin berkembang di Indonesia. Dikarenakan pada tahun 2020 kemarin kasus pedofilia tak kunjung menurun hal ini juga yang dijadikan pertimbangan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membuat formula aturan baru sebagai upaya terbaru untuk menjerat para pelaku atau predator pedofilia minimal untuk menurunkan angka kasus tersebut ataupun sebagai bentuk psywar kepada mereka bahwa bila mereka tetap nekat melakukan aksi atau tindakan kejahatan tersebut maka sanksi hukuman tegas menanti sebagai bentuk  pertanggung jawaban moral kepada pelaku dan Orang Tua korban.

Dalam penulisan ini saya tertarik kepada penerapan dan efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak tersebut berharap bekerja secara maksimal. Dikarenakan setelah membaca dan menelaah secara terperinci di pasal 2 ayat (1) ada satu kejanggalan dimana pelaku yang dapat atau bisa dijatuhkan hukuman tindakan kebiri kimia dan rehabilitasi adalah pelaku yang telah memenuhi unsur kejahatan yaitu, pelaku melakukan persetubuhan dengan korban sedangkan untuk pelaku yang melakukan pencabulan sesuai dengan pasal 2 ayat (2) penjatuhan hukumannya diberikan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi. Hal ini dapat menimbulkan pro dan kontra karena adanya pembedaan hukuman dari perbedaan dua unsur kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Secara garis besar memang nampak jelas ada perbedaan mendasar antara pemaknaan pencabulan dan persetubuhan yang ada dalam hukum di Indonesia. Makna dari pencabulan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam pasal 289 merupakan pelanggaran kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, yang kesemuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, sebagai contoh pencabulan adalah sebagai berikut cium-ciuman, meraba-raba buah dada, dan sebagainya, sedangkan persetubuhan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam pasal 285, 286, dan 288 tergantung situasi dimana posisi pelaku saat melakukan tindak kejahatan tersebut, yaitu perbuatan yang merupakan adanya peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dimana anggota kemaluan laki-laki masuk ke anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani. Dari kedua kejadian tindak kejahatan tersebut tidak perlu dibedakan sanksi hukumannya karena efek yang ditimbulkan ke korban adalah sama, istilah sama disini dimaksudkan adalah korban akan mengalami traumatis serta gangguan kejiawaan (psikis) yang berat alangkah baiknya bila kedua kejahatan tersebut sama-sama diberikan sanksi hukuman yang sama yaitu tindakan kebiri kimia dan rehabilitasi. 

- Advertisement -

Menarik disimak sejauhmana efektivitas keberlangsungan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi,dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak digunakan oleh para penegak hukum kita sebagai pedoman dan acuan dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku atau predator pedofilia atau malah sebaliknya dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut akan menimbulkan pro dan kontra dimana akan terjadi silang pendapat antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga yang dibentuk dan memiliki fungsi sebagai perlindungan, penelitian, penyuluhan, dan mediator terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut Hak Asasi Manusia. Disnilah peran dari penegak hukum diuji dikarenakan dihadapkan hal yang menyangkut Hak Asasi Manusia baik dari sisi pelaku maupun dari sisi korban.

Penulis   : I Gusti Ngurah Oka Putra Setiawan, SH, MH (Akademisi dan Tutor di Lembaga Bimbingan Belajar BRITS)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts