Safari Literasi Bali Barat: Catatan sebuah Gerakan Literasi Akar Rumput

Safari literasi dari gerakan  literasi akar rumput, tiba di Bali Barat, berlokasi di SMPN 2 Mendoyo dan Komunitas Guru Penggerak Kabupaten Jembrana.

Safari literasi ini adalah sebuah perjalanan gerakan literasi mandiri dan pribadi  didasari oleh kecintaan pada literasi. Model gerakan ini terjadi dimana-mana dan memiliki daya tahan yang bagus. Termasuk pula idealisme dan kecintaan itu menjadi jaminan gerakan     

- Advertisement -

Ini berkembang terus dan biasanya terlibat dalam jejaring kerja yang sejenis yang di dalamnya juga akan bekerja insan-insan berdedikasi terhadap literasi itu sendiri. Gerakan     ini juga tidak bergantung kepada dana dan program pemerintah atau lembaga lainnya. Gerakan literasi semacam ini murni tumbuh dari bawah. Inti gerakan     ini adalah pada esensi dan relevansi bagi masyarakat.

Safari literasi akar rumput adalah sebuah program literasi yang merambah tiga ranah (keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat/komunitas). Namun dalam Gerakan kali ini lebih banyak menyasar sekolah. Gerakan  ini mengembangkan strategi dalam menjalin atau memilih sasaran safari dengan menawarkan program secara terbuka lewat medsos.

Di samping itu juga dilakukan penjaringan titik tujuan safari lewat konten-konten literasi di medsos. Lembaga, seperti sekolah, yang memiliki konten bertema literasi yang diunggah di medsosnya lalu diberi komentar. Setelah ini dilanjutkan dengan melakukan kontak secara “tertutup”/personal. Biasanya di sinilah terjadi keputusan yang disepakati untuk menindaklanjutinya. Di samping itu juga, safari literasi ini ditawarkan kepada guru, kepala sekolah, atau ketua komunitas yang tertarik dengan.

Langkah selanjutnya terkait dengan strategi gerakan, khususnya dalam tindak lanjut setelah adanya persetujuan, yaitu dengan melakukan diskusi-diskusi singkat lewat media sosial atau WA. Dalam proses ini selalu ditekankan penghargan yang tinggi atas kesedian bekerja sama. Pihak penyelenggara Gerakan safari literai akan bertanya mengenai suatu topik, program apa yang sudah dilakukan selama ini dalam literasi. Ada beberapa sekolah yang memang telah memiliki program dan ingin meningkatkannya lewat menyambut safari literasi yang ditawarkan. Sekolah-sekolah semacam ini akan menetapkan jadwal, acara, dan bahkan menyediakan biaya.

- Advertisement -

Dalam diskusi lanjutan disampaikan pula, kegiatan safari literasi ini berangkat dari kebutuhan sekolah dan akan disesuaikan dengan tema-tema safari. Yang tidak kalah penting dalam “negosiasi” menuju eksekekusi kegiatan adalah penekanan atas dua hal: pertama, kegiatan ini memiliki relevansi dengan sekolah, seperti rapor literasi dan akreditasi; kedua, kegiatan ini tanpa biaya yang dibebankan kepada pihak sekolah. Yang kedua sangat penting karena sering sekali sekolah “diam” karena tidak memiliki dana. Tapi banyak juga sekolah yang “diam” bukan karena factor tidak ada danya. Mereka tidak merasa literasi tidak urgen atau nambah susah!

Titik pemicu safari literasi adalah perkembangan Gerakan literasi akar rumput yang selama ini bercokol di Desa Batungsel, lokasi berdirinya Komunitas Desa Belajar Bali. Karena banyak yang berminat belajar praktik literasi, dan karena faktor jarak, juga praktis tutup selama pandemi, maka safari literasi ini adalah model Gerakan literasi akar rumput pascapandemi.

Titik pemicu lain adalah soal kondisi GLS yang stagnan. Sekolah-sekolah tidak bergerak jika tidak ada “tekanan” dari atas. Artinya GLS masih sangat bergantung pada pihak luar atau pihak atas. Padahal GLS itu sangat mungkin terjadi secara mandiri. Karena itulah, safari literasi ini dipandang sebagai suatu cara untuk menawar sikap ketergantungan itu. Walaupun memang masih datang dari luar sekolah, yang penting dalam hal ini bukan dari atas atau dari pihak pemerintah. Artinya sekolah bisa bergerak secara mandiri dalam GLS, mungkin salah satunya dengan menjalin kerja sama dengan pegiat-pegiat Gerakan literasi, seperti komunitas atau oraganisasi-organisasi nirlaba. Pola jejaring kerja literasi seperti ini sangat dimungkinkan dan dianjurkan di dalam kerangka GLN (Gerakan Literasi Nasioanl), yang terkait dengan prinsip bahwa gerakan  literasi itu adalah tanggung jawab semua pihak.

Masih ada pemicu lain, yakni yang terbukti secara empiris selama bergelut dalam gerakan     literasi akar rumput (sedimen yang paling kaya dengan persoalan literasi yang tidak tersentuh selama GLN) sekolah-sekolah tidak inovatif dalam merancang program. Hampir semua praktik literasi menggunakan model  yang diperkenalkan oleh pemerintah dalam berbagai bimtek literasi dan buku-buku panduan, seperti pojok baca, membaca Bersama selama 15 menit di halaman sekolah lalu ada salah seorang siswa berpidato, pohon literasi, dll. Intinya GLS lebih sebagai slogan di tembok-tembok sekolah. Sama halnya dengan gerakan     antinarkoba, antiperundungan, antirokok, dll. Karena keadaan itu, dipandang penting membantu sekolah dalam merancang program-program literasi praktis dan kontekstual. Sejalan dengan kondisi ini yang kemudian menjadi pemicu penting adalah membantu sekolah dalam merancang berbagai kegiatan literasi yang inovatif.

Dari berbagai diskusi dengan sekolah yang tertarik menyambut safari literasi ini, seperti SMPN 2 Mendoyo (Kabupaten Jembarana) memang akhirnya sangat beragam program yang dipilih, yang dapat dibedakan menjadi: pertama,  memberi wawasan literasi kepada guru karena sebelumnya kurang; kedua, pengembangan program literasi yang sudah berlangsung baik di sekolah dan dalam hal ini safari literasi menjadi forum berbagi dan penguatan literasi; ketiga, membangun jejaring kerja literasi bagi sekolah sehingga GLS bisa menjadi salah satu program unggulan, misalnya dijadikan proyek dalam pelaksanaan kurikulum merdeka atau diintegrasikan ke dalam pembelajaran sehingga literasi tidak hanya distigmasi hanya kepada guru Bahasa Indonesia; dan pengembangan GLS yang kontekstual atau berbasis pada lingkungan sekolah, seperti ekoliterasi yang dikembangkan di sekolah-sekolah berbasis hutan dan tanah pertanian dan perkebunan kopi (di Kecamatan Pupuan, Tabanan).

Selama melakukan pendekatan dengan strategi medsos, jejaring kerja personal, dan minat literasi pihak sekolah, dapat dinyatakan satu hal bahwa kepala sekolah memegang peranan sangat penting dalam kemajuan atau menawar stagnasi GLS di sekolahnya. Memang pendekatan ini tidak dilakukan langsung kepada kepala sekolah tetapi lewat guru yang literat dan selanjutnya membantu melakukan komunikasi dengan sekolah sehingga pada akhirnya program dapat berjalan. Ini juga semata-mata karena kepala sekolah sangat  responsisf dan memiliki minat besar dalam memajukan GLS.

Karena itu, jangan sedih jika tawaran program safari literasi tidak disambut. Sebagai pegiat literasi memang tidak cukup hanya mendesain dan mengembangkan model praktik-praktik baik literasi serta melakukan serangkain uji coba secara empiris, tetapi juga harus bisa mengembangkan strategi yang efektif agar ide dan praktik Gerakan literasi diterima di akar rumput. Menurut pengalaman, tidak semua kepala sekolah berniat baik pada literasi, yang memang menjadikan literasi di sekolahnya stagnasi besar berkepanjangan.

Pada seberang lain, akan ada banyak kepala sekolah yang berminat dan menyambut dengan mengedepankan arti penting jejaring kerja literasi menuju kemandirian literasi, inovasi GLS, dan menjadikan literasi sebagai bagian dari kehidupan siswa di sekolah. Jika saja wawasan literasi kepala sekolah luas maka paradigma GLS akan sangat fleksibel, yang mana sangat erat hubungannya dengan AKM literasi dan numerasi. Ini adalah payung GLS sehingga arah Gerakan literasi sudah sangat jelas.

Atas dasar catatan dan pembahasan di awal esai ini, sampailah pada kegiatan safari literasi di bagian pulau Bali Barat. Dua sasaran safari yang dituju pada tanggal 18 Maret 2023 lalu, adalah bukti nyata bagaimana sebuah sekolah, seorang kepala, dan ketua komunitas guru penggerak adalah mereka yang dijumpai di lapangan yang memiliki apresiasi tinggi pada literasi. Bapak Kepala Sekolah SMPN 2 Mendoyo, I Putu Gunarsa,S.Pd.,M.Pd. dan ketua komunitas guru penggerak Kabupaten Jembrana, Bapak I Wayan Ardika, S.Pd. adalah pintu masuk bagi safari literasi di Kabupaten Jembrana.

Safari literasi di SMPN 2 Mendoyo diisi dengan dua kegiatan pokok yang secara penuh diikuti oleh Bapak Kepala Sekolah. Kegiatan kuliah literasi perlu diberikan karena guru-guru belum pernah mengikuti secara khusus kegiatan seperti ini. Jadi pemahaman guru terhadap literasi belum cukup memadai. Walaupun demikian, sekolah ini memiliki guru yang telah berkarya dalam bidang literasi dengan menerbitkan buku.

Kegiatan lain, dengan berorientasi kepada kebutuhan sekolah ini, maka diadakanlah “rapat” bersama yang dihadiri kepala sekolah, staf sekolah, dan seluruh guru untuk merumuskan bersama program atau praktik baik sebagai aksi nyata GLS dalam waktu yang dekat.

Program ini memposisikan sekolah bukan sebagi objek dalam gerakan tetapi bermitra dalam memajukan literasi dengan tetap menjadikan pihak sekolah sebagai agen yang bergerak aktif. Jika sekolah ini menilai dirinya belum maksimal dalam melakukan Gerakan literasi sekolah, maka dengan adanya kegiatan safari literasi maka sekolah ini sedang melakukan asesmen outentik atas GLS. Hasil asesmen ini nyata ditindaklajuti dalam praktik baik literasi praksis.

Hasil yang didapat dalam agenda ini sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah memutuskan bersama agenda kerja literasi, yakni berupa festival literasi sekolah. Perencanaan detail dan teknis kegiatan ini kemudian ada di tangan kepala sekolah bersama guru, staf, OSIS dan siswa SMPN 2 Mendoyo. Dengan demikian, safari literasi bukan satu kegiatan yang telah berakhir di sekolah ini tetapi hanya langkah awal karena sekolah akan melaksanakan tindak lanjut kegiatan dan ini jauh lebih penting. Hal ini juga akan menjadi bukti bahwa GLS tidak lagi “tidur” tetapi bergeliat dan bergerak-gerak dengan motor dan motivasi seluruh insan sekolah serta jejaring kerja yang dibangunnya, baik secara sosial dan secara birokratis.

Festival literasi memang sering dilakukan, namun masih dipandang kegiatan berskala besar dan hanya bisa dilakukan oleh dinas terkait. Pandangan ini salah karena dengan potensi, jejaring kerja, dan dana pihak sekolah, sekolah berpeluang besar menyelenggarakan festival literasi. Kegiatan ini pernah terjadi di SMPN 1 Pupuan (Kabupaten Tabanan, tahun 2022).

Ide kegiatannya memang dari pihak luar lewat jejaring kerja literasi dengan Komunitas Desa Belajar Bali, namun dimatangkan oleh kepala sekolah dengan membentuk tim atau panitia, membangun komunikasi dengan dinas terkait di Kabupaten Tabanan, melibatkan alumni, Camat Pupuan, akademisi dari Universitas Pendidikan Ganesha, dan bahkan hingga anggota dewan. Di dalamnya ada sesi kegiatan berupa bincang literasi yang menghadirkan mereka sebagai narasumbernya.

Festival literasi bisa diperkaya dengan berbagai kegiatan, seperti diskusi karya, peluncuran buku siswaa atau guru, pameran literasi, lomba-lomba. Arti penting festival literasi adalah melaksanakan GLS secara inovatif dan mampu melibatkan berbagai kalangan ke dalamnya. GLS tidak hanya khusus bagi sekolah bersangkutan tetapi juga bisa melibatkan sekolah dan instansi lain. Ketika festival-festival literasi adalah barang yang langka, maka dengan paradigma bahawa suatu festival bisa dilaksanakan oleh sekolah, maka GLS telah menjelma Gerakan yang massif dan sekaolah penyelengara, dalam hal ini nanti SMPN 2 Mendoyo, akan menjadi pusat gerakan literasi sekolah di Kabupaten Jembrana. Dan, dengan demikian dapat dikembangkan menjadi salah satu program unggulan sekolah.

Semoga SMPN 2 Mendoyo dapat mewujudkannya! Dengan kepemimpinan Bapak I Putu Gunarsa,S.Pd.,M.Pd. adalah sebagai garansi tahun ini satu festival literasi sekolah digelar di salah satu kota kecamatan di Kabupaten Jembrana. (*)

Penulis :

Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts