Usia Senja, Mendampingi Kesetiaan Menenun Songket

Nengah Suandi |FOTO : Edi Torro|

Singaraja, koranbuleleng.com | Badannya ringkih menopang badannya yang kurus ketika keluar kamarnya. Dari dalam, wanita yang sudah uzur berumur 86 tahun ini tampak sibuk merapikan rambutnya yang sudah memutih. Dia baru saja usai membersihkan badannya.

- Advertisement -

Dialah, Nengah Suandi, warga Banjar Dinas Gambang, Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng. Di identitas kependudukan tertulis angka tahun kelahiran 1934, namun dia sendiri tidak tahu persis tahun lahirnya. Yang hanya diingatnya, dia sudah tahu ketika sudah ada pendudukan tentara Jepang di Bali.

Nengah Suandi kini menjadi salah satu perempuan sepuh yang masih aktif menenun kain Songket di Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng. Dia sudah menenun sejak kecil, warisan pekerjaan dari orangtuanya.  

Tangan keriputnya masih kuat menenun dengan alat tenun Cagcag yang sudah berumur puluhan tahun. Suandi sendiri juga masih mempunyai sebuah cagcag yang diperkirakan berumur lebih dari seratus tahun, warisan orang tuanya.

Cagcag sepuh ratusan tahun itu kini digunakan oleh anaknya untuk menenun. Sementara cagcag yang digunakannya adalah cagcag yang digunakan sejak masih muda.

- Advertisement -

Tangan Suandi juga  masih kuat menenun gulungan benang yang beraneka ragam warna. Nantinya, proses gulungan benang tersebut akan menjadi kain tenun yang bermotif berupa senteng atau selendang Songket khas Buleleng dari Desa Jinengdalem.    

Meski sudah berumur ia mengerjakan dengan sangat gembira. Nengah Suandi  masih sangat cekatan untuk menenun serta pengelihatannya masih normal untuk melakukan proses tenun ini. Meski ketika berdiri harus melalui bantuan seseorang.   

Wartawan koranbuleleng.com, sempat berkunjung ke rumah Nengah Suandi untuk melihat secara langsung, proses menenun yang dilakoninya.

Suandi duduk di depan teras rumah sambil memintal benang. Ia mengaku proses menenun dilakoni sehabis menyiapkan makanan. Tidak banyak waktu yang dihabiskannya untuk menenun, karena faktor uzur. Namun di sore hari hingga malam, dia akan kembali melanjutkan sisa pekerjaan di pagi hari.

“Masih menenun karena saya suka, sejak dari dulu saya menenun.  Saya sudah tidak ingat itu tahun berapa,” janjut Suandi.

Suandi menceritakan jika menenun adalah bekal warisan yang diberi oleh orang tuanya. Ia belajar dengan cara otodidak.  Semua berawal dari kondisi ekonomi  yang jauh dari kata mampu bahkan ia  tidak sempat mengenyam pendidikan apapun sejak kecil.     

Menenun ini menjadi pekerjaan warisan. Dia juga mewariskan pekerjaan ini kepada empat orang anaknya, termasuk mewarsikan cagcag dari masa lalu yang telah berumur ratusan tahun. “Kalau alat tenun yang warisan orang tua sudah saya beri ke anak. Saya pakai ini, kalau tidak salah dibuat ketika saya remaja, ” lanjut Ibu dengan 5 anak ini

Suandi bercerita dari hasil menenun songket ini, bisa menghidupi kelima anaknya. Dulu, Hasil Tenunnya dipasarkan sendiri dengan cara berkeliling ke pelosok desa hingga sampai daerah Gilimanuk di Jembrana.  

“Dulu kalau masih kuat saya keliling jual, ke Gianyar, Klungkung sampai ke Gilimanuk juga, tapi sekarang sudah tidak kuat jadi saya putuskan untuk menenun dirumah saja, nanti hasilnya saya bawa ke pengepul. Sekarang hanya bikin senteng saja, kalau dulu kamen saya juga bikin.” Tutur Suandi.

Setiap minggu Suandi bisa menyelesaikan sekitar 2 pasang selendang songket dengan harga Rp 300 ribu per selendang. Jadi ia bisa mendapatkan sekitar Rp. 1,2 juta sebulan. Untuk bahan baku yang didapatkan dengan proses meminjam uang dari pihak lain terlebih dahulu. Setelah hasilnya jadi kemudian mendapatkan upa,h Suandi baru membayar bahan bakunya.

Walaupun sudah ringkih, Suandi juga punya idelaisme kuat. Baginya menenun bukan hanya sekedar persoalan ekonomi, melainkan persoalan budaya yang harus terus bertahan ditengah gempuran kain tenun modern.  Ia berharap agar generasi muda agar mau belajar menenun sehingga kain-kain tenun asli Buleleng tetap ada.  

“Tidak ada harapan apa-apa, mudah-mudahan bisa terus meneun itu saja sudah cukup,” harapnya.

Pewarta : Edi Toro

Editor    : Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts