Nasib Sungai

Sungai-sungai dari kaki Gunung Batukaru penuh batu-batu padat licin dan berukuran besar. Di sana air rembesan dua danau di timur laut gunung ini, Buyan dan Tamblingan, di Kabupaten Buleleng, mengalir sepanjang tahun. Sungai rumah aneka siput, ikan, kutu air, lintah, pacet, amplus, kalimandu, katak, dan kepiting. Aliran yang masih dekat di hulu, adalah tempat gerombolan kidang minum atau tempat ular piton berendam setelah menyantap seekor anak babi hutan.

Para leluhur memanfaatkan aliran sungai-sungai itu untuk irigasi subak hingga tercipta tradisi dan sistem ekonomi yang mapan: agrarisme. Subak tidak pernah ada tanpa sungai dan teknologi instalasi air yang terdiri atas empelan, aungan, pangkung, telabah, jangkaan, hingga andungan. Agrarisme subak lantas mencipta sistem bercocok tanam dengan berbagai varietas padi bali dan palawija yang melahirkan kertamasa. Dalam sistem ini, hama dikendalikan dengan pola tanam. Demikian pula kesuburan tanah. Semuanya tanpa racun pertanian yang diinjeksi kemudian lewat Revolusi Hijau.

- Advertisement -

Desa-desa yang dibangun di kaki Gunung Batukaru dilewati oleh perjalanan sungai menuju muara di Samudera Hindia. Tukad Yeh Kelih misalnya, mengalir di sisi Desa Batungsel, pada suatu lembah yang mungkin dulu tercipta karena blabar atau banjir bandang hebat. Hampir sepanjang empat KM, aliran sungai ini berada di bawah desa yang posisinya lebih tinggi, pada suatu areal tanah datar, tempat pemukiman, pura, dan jalan raya dibangun.

Air hujan di desa mengalir ke sungai, bercampur dengan air yang bersih dari hulu. Ketika desa ini belum memiliki instalasi air bersih yang dikenal sejak Orde Baru, penggunaan air sangat terbatas di rumah-rumah, maka praktis Tukad Yeh Kelih aman dari limbah cair rumah tangga. Namun demikian, ketika itu, sudah mulai terjadi pembuangan sampah yang pada musim hujan terbawa air ke sungai.

Pertambahan penduduk, munculnya sampah plastik dan kain yang mana desa tidak mengantisipasi dengan sistem pengolahan sampah, selain hanya disedikan teba yang tidak cukup luas, menimbulkan persoalan bagi sungai. Saat musim hujan sampah-sampah yang tidak bisa diuraikan di teba dan di selokan-selokan atau kekalen (got) terbawa air dan berlabuh di sungai. Walau air sungai pada saat hujan lebat sangat deras, membawa humus dari hulu untuk memupuk padi di sejumlah subak namun tidak semua sampah itu hanyut. Jika pun hanyut semua tentu saja persoalan tidak serta merta selesai karena sampah-sampah dari desa di atas sungai ini akan tercecer atau tersangkut di batu dan akar-akar pohon di tepiannya.

Inilah yang sesungguhnya menjadi nasib buruk sebuah sungai yang mengalir di bawah pemukiman. Hal ini pasti tidak akan buruk bagi sungai jika masyarakat desa telah mengelola sampah dengan baik. Tetapi kenyataannya, sampah-sampah tersebut dibiarkan hanyut ke sungai. Sungai tidak cukup kuat menghanyutkan sampah itu. Sehari-hari pun tampak hamparan plastik, kain, selimut, sprei, kamen, sarung, aneka tipe sampah plastik, ada yang tersangkut di celah batu, terendam nyanyad, mengambang di kubangan air.

- Advertisement -

Sejatinya nasib buruk tengah dialami sungai ini sepanjang tahun. Karena warga desa tidak perlu masuk ke DAS dan sengaja dibiarkan rimbun oleh semak liar dan bambu maka wilayah itu menjadi tempat yang tidak terjangkau. Dengan demikian dan berdasar sikap ini, warga desa semakin abai dan tidak peduli dengan nasib sungai. Sungai menjadi TPA sepanjang tahun, nasib buruk bagi sungai yang melewati lemabh di bawah pemukiman.

Sungai tidak hanya berfungsi ekonomis bagi subak dan agrarisme tetapi berfungsi religius atau penyucian. Air sungai dipandang suci untuk melukat dan upacara ngangkid. Maka warga desa ke sungai untuk tujuan penyucian diri, menggelar upacara untuk mohon berkah suci air sungai.

Pada saat ini terjadi ironisme yang menjadi sangat lucu! Warga melakukan upacara melukat di air sungai yang terpolusi sampah-sampah rumah tangga. Namun mereka sama sekali tidak merasa terganggu. Dalam pikiran warga desa, mereka menempatkan sampah sungai dan konsep air yang suci itu di dua titik yang saling berjauhan (bertentangan) dan dalam toleransi yang tidak bisa dipahami. Maka upacara suci di air sungai dilakukan dengan atau di sungai dengan air kotor oleh aneka sampah plastik dan kain, berbagai materi atau jenis sampah.

Ketika sungai memiliki fungsi ritual untuk menyucikan diri dan jiwa, yang sangat penting bagi warga desa, seharusnya menjadi momen untuk merenungi nasib sungai. Fungsi sungai seperti inilah seharusnya menjadi benteng bagi warga desa agar tidak membuang sampah sembarangan dan selanjutnya jatuh ke sungai yang mereka sucikan. Dua pandangan harus dipertemukan atau disinergikan, yakni pandangan ritual dan pandangan ekologis.

Sebagai masyarakat yang religius, yang terbiasa dengan upacara, dengan suatu pandangan bahwa sungai itu memiliki jiwa dan suci, maka hal ini menjadi acuan warga desa untuk dipatuhi agar menjaga kebersihan sungai dan kesuciannya. Dengan demikian, konsep religius dan ekologi berada dalam satu sinergi yang sangat baik.

Dengan melihat keadaan sungai yang dipenuhi sampah rumah tangga, tampaknya masyarakat menganut pandangan yang saling bertolak belakang. Pada satu sisi mengagungkan sungai sebatas level atau tataran religius ritualistik. Sebaliknya pada sisi lain, sungai dibiarkan penuh sampah.

Memang dengan dukungan kesadaran ekologi masyarakat yang tinggi, ada sungai-sungai yang bernasib baik. Airnya bersih, tanpa sampah, batu-batunya licin, ikan-ikan berbiak, tepian sungainya tertata. Pokoknya sangat indah seperti taman alam yang agung. (*)

Penulis : Wayan Artika (Pegiat Literasi dan Dosen Undiksha Singaraja)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts