Selamat Tinggal SMAN Bali Mandara, Memahami Relasi Pendidikan dan Politik

Ada dua hal penting terkait pendidikan sebagai tindakan politik (Paulo Freire). Pertama, pendidikan dijadikan jalan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Kedua, pendidikan dibangun sebagai produk politik. Berbagai program pendidikan lahir dari rahim politikus, seperti beasiswa, pertukaran siswa, pengembangan sekolah dengan standar tertentu, dan lain-lain.

Pemerintah Orde Baru misalnya, menggunakan pendidikan nasional sebagai jalan untuk melegitimasi kekuasaannya lewat kurikulum nasional Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan satu paket dengan wajib menonton film Pengkhianatan G.30 S/PKI; atau pengajaran sejarah versi pemenang yang sedang berkuasa dengan menghadirkan Bapak Soeharto sebagai pahlawan yang masih hidup. Pada ranah mikro, kurikulum dan mata pelajaran tertentu yang diajarkan di sekolah adalah bukti autentik bahwa pendidikan sebagai jalan politik. Lewat materi-materi mata pelajaran, siswa digiring ke satu poros praktik politik negara misalnya nasionalisme NKRI, nonblok atau politik luar negeri bebas aktif.

- Advertisement -

Perguruan Taman Siswa awal sejarah pendidikan nasional adalah praktik pendidikan untuk mencapai tujuan politik nasional.  Melalui pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara menanamkan semangat kebangsaan untuk melawan penjajah. Pendidikan nasional lahir tak lepas dari tujuan tujuan untuk memerdekakan bangsa.  Pendidikan nasional adalah politis terutama dalam konteks hubungan bangsa terjajah dan penjajah. Kelak barulah pendidikan nasional memperkaya diri dengan tujuan-tujuan nonpolitik, seperti pendidikan untuk industri dan pembangunan bangsa.

SMAN Bali Mandara, tanpa dimungkiri pula adalah produk atau layanan pendidikan bagi kaum miskin di Bali, yang lahir dari rahim politik seorang Gubernur Bali. Hal ini ditandai dengan merek “Bali Mandara” yang identik dengan kredo politik dari Mangku Made Pastika, Mantan Gubernur Bali.  Perspektif kekuasaan memposisikan apapun produk sosial yang dihasilkan oleh gubernur saat itu, apalagi diberi cap politik seperti “Bali Mandara” sebagai produk politik. Di tengah jalan suksesi, hal ini adalah bayang-bayang hitam.  

Jika sebuah produk politik bagus dan bermanfaat bagi masyarakat maka aroma politiknya tidak terasa lagi. Masyarakat jauh lebih pragmatis sebenarnya ketimbang politikus. Para politikus tidak seperti masyarakat sehingga produk-produk sosial lawan politik adalah barang yang haram.  Semua yang dicapai Presiden Soekarno ketika Presiden Soeharto berkuasa diharamkan dan ditabukan. Untuk itu ada gerakan politik Orde Baru memerangi semua yang berbau Soekarno.

Nah, air mata para aktivis Bali di media sosial dan di gedung DPRD ketika melihat dan memperjuangkan nasib anak-anak dari keluarga miskin dan perjuangan wacana yang mereka lakukan, berjalan pada jalur nonpolitik dan ini sangat lemah. Dalam hal ini air mata, moralisme, simpati tidak memiliki kekuatan, ya lantaran belum diberi cita rasa politik.  Alasan-alasan moral, humanisme, simpatisme tak berguna untuk meyakinkan Bapak Gubernur. Selebihnya, Bapak Gubernur memiliki cara pandang yang tampak berbeda dengan yang sebelumnya. Semua itu tentu saja kiranya, tidak memenuhi label “halal” bagi Gubernur.

- Advertisement -

Di mata Gubernur Bali  produk-produk gubernur sebelumnya terkesan sulit diterima. Untuk kebutuhan komunikasi politik, Gubernur mengumpulkan data. Hal ini digunakan sebatas alat-alat dalih, alasan, atau kilah. Alat-alat dalih, kilah, dan alasan ini dibangun untuk melayani nalar sosial. Dengan demikian, keputusan untuk menghentikan operasional SMAN Bali Mandara sebagaimana layaknya selama sepuluh tahun masa Gubernur Mangku Made Pastika, harus dipahami secara epik politik rezim sekarang.

Apa yang menimpa SMAN Bali Mandara saat ini adalah konsekuensi pendidikan dengan relasi politis. Hal ini sebagai bukti bahwa pendidikan tidak netral. Karena itu, penulis sudah jauh-jauh waktu mempertanyakan, apakah sekolah ini akan dapat dipertahankan setelah Gubernur Made Mangku Pastika tidak lagi menjabat?  

Sering pertanyaan ini penulis ajukan ke teman-teman guru. Mereka sudah barang tentu hanya sebatas tenaga guru, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sejak pergantian gubernur para guru dan pegawai suudah ketar-ketir. Acara-acara sekolah yang terbaik yang telah menjadi budaya di sekolah ini serta berbagai mahakarya seperti komposisi musik Bali, tarian, dan paduan suara selalu dipersiapkan dengan kerja keras dan hendak dipersembahkan kepada Bapak dan Ibu Gubernur yang baru.

Namun mungkin karena acara Gubernur sangat padat, acara-acara persembahan terbaik itu luput dari perhatian Gubernur. Demikian selanjutnya dan memang itu semua adalah pertanda “buruk” bagi sebuah pelayanan dan pemuliaan anak-anak keluarga miskin yang diasuh dan diadopsi secara politik di SMAN Bali Mandara oleh sepasang tangan kekar Made mangku Pastika, ikhtiar moralisme yang tidak tanggung-tanggung yang dapat ia lakukan untuk kaum miskin tanah leluhurnya.  

Seolah Made Mangku Pastika tidak mau menerima kenyataan pembangunan Bali yang generalis bahwa Bali telah amat sejahtera, tetapi nyatanya, di pulau ini masih banyak lahir anak-anak dari keluarga miskin. Hanya sebatas itu memang, tidak lebih dari sepuluh tahun saja dan Made Mangku Pastika, tidak sanggup menutaskannya.

Guru-guru tim hebat yang membawa SMAN Bali Mandara kepada reputasi sosialnya yang mengagumkan, telah memupuskan semua proyek pendidikan kaum bupati di Bali dengan ‘SMANSA”-nya, semakin menyadari keadaan yang sebenarnya; sekolah ini akan terhenti karena infrastruktur politiknya telah hilang. Para tim SMAN Bali Mandara memang memiliki alasan untuk percaya diri dengan prestasi kerja mereka selama ini mendapat berbagai pengakuan dan ini sudah cukup untuk meyakinkan Gubernur bahwa sekolah ini patut diteruskan. Namun, mereka lupa bahwa ada relasi antara pendidikan dan politik. Jika perubahan status SMAN Bali Mandara dinilai sebagai kemunduran besar dunia pendidikan Bali, mungkin benar jika dilihat dari perspektif nonpolitik. Namun sebaliknya, masalah ini adalah kelaziman semata di kancah politik.

Alasan yang sering sampai ke publik adalah karena keterbatasan anggaran. Hal inipun sejatinya tidak cukup kuat jika dilihat secara politik. Uang bukanlah faktor utama dalam politik. Uang sebagai biaya akan tunduk atau mengikuti niat atau kemauan itu sendiri. Jadi, yang utama adalah niat atau kemauan politisi yang sedang berkuasa. Kebijakan politik politisi apapun itu sangat bergantung kepada niat dan kemauan, yang terkadang sangat subjektif dan personal. Selain menyimpan anomali, niat atau kemauan politisi penguasa atau yang duduk di kursi pemerintahan biasanya sangat hebat karena dapat mengakomodasi berbagai kepentingan sosial. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts