Restorasi Kayehan Tua Untuk Menghormati Jejak Masa Lalu

Kelian Desa Adat Buleleng menggelar prosesi pecaruan Eka Sata untuk memulai restorasi bangunan tua dari jaman Kerajaan Buleleng berupa kayehan/Pancoran |FOTO : Putu Rika Mahardika|

Singaraja, koranbuleleng.com| Ekspresi wajah Kelian Desa Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna tampak serius kemarin pagi. Dibalik ekspresi yang penuh serius itu. bersama prajuru Desa Adat Buleleng, Jro Sutrisna sedang menjalankan prosesi pecaruan Eka Sata, Jumat 14 Agustus 2020.

- Advertisement -

Sebagai Klian Adat Buleleng, Jro Jyoman Sutrsina bersama prajuru punya cita-cita luhung untum merestorasi dan memfungsikan sebuah kayehan atau pancoran sebagai pemandian umum dari masa lalu. Desa Adat Buleleng mempunyai koleksi foto pancoran ini di tahun 1917. Namun, diduga kuat pancoran ini sudah ada sejak tahun 1800-an. Pemandian umum dari masa lalu dengan ciri khas fisik berupa candi bentar lengkap dengan ukiran khas Buleleng ini masih ada, namun terbengkalai tak berfungsi.

Untuk memulai restorasi, Prajuru menggelar pecaruan Eka Sata tersebut. Restorasi dilakukan untuk mengembalikan bentuk semula dari Pemandian Umum itu, sesuai bentuk yang terdokumentasikan pada tahun 1917 silam.

Nantinya, proses pengembalian bentuk asli dari bangunan itu akan melibatkan undagi atau tukang ukir dari Desa Tejakula, yang sudah bersertifikat. Dana yang dimanfaatkan untuk restorasi ini bersumber dari Bantuan Sosial Anggota DPRD Bali sebesar Rp125 Juta.

“Pancuran desa ini kita lestarikan, dimana kami mendapatkan sebuah gambaran yang menceritakan pancoran ini sejak tahun1917 fotonya yang kami dapatkan di Puri Kanginan,”ujar Kelian Desa Adat Buleleng Jro Nyman Sutrisna.

- Advertisement -

Selain untuk mengembalikan nilai sejarah dari bangunan itu, Desa Adat Buleleng juga memiliki misi untuk menjadikan lokasi itu sebagai salah satu Daya tarik Wisata (DTW) Sejarah yang ada di Buleleng.

Terlebih lagi, kini Desa Adat Buleleng telah membentuk Kelompok sadar Wisata (Pokdarwis) Cita Lila Ulangun yang akan dikukuhkan bertepatan dengan hari kemerdekaan RI 17 Agustus 2020 mendatang. Proses restorasi ini sendiri ditarget rampung dalam waktu satu setengah bulan.

Kondisi pancoran saat ini yang masih menyisakan ukiran khas Buleleng dari masa lalu |FOTO : Rika Mahardika|

“Kita akan kelola sendiri, karena lahannya ini tanah milik Desa Adat Buleleng. Tata kelolanya nanti oleh Pokdarwis, sehingga konsep kerjasam dengan pemerintah dan Swasta akan kita bicarakan lebih lanjut,” kata Sutrisna.

Lokasi pancoran ini berada di depan Pasar Buleleng, Area Catus Pata, di Jalan Mayor Metra Singaraja. Dahulu, wilayah ini merupakan pusat kegiatan dari kerajaan Buleleng. Disitu, sebagai pusat segala kegiatan sosial, adat , ekonomi dan budaya.

Di dalamnya, terdapat empat unit pancuran. Tentu, pancuran itu tidak lagi mengeluarkan air. Karena tempat penampungan air yang berada tepat diatas pancuran itu, sudah tertimbuh reruntuhan, punging-puing sisa bangunan yang entah dibuang oleh siapa.

Beberapa bagian ornament pada bangunan itu sudah banyak yang keropos termakan usia. Apalagi ornamen ukiran khas buleleng yang menghias beberapa sudut bangunan memang dibuat dari tanah batu paras yang memang rapuh. Namun beberapa bagian juga Nampak ada yang baru.

Beberapa ukiran baru itu terlihat dibuat dengan bahan pasir hitam. Alhasil, bangunan itu Nampak tidak serasi. Disatu sudut ukirannya terlihat khas dan klasik dengan bahan paras, di satu sisi bangunan terlihat elegan dengan ukiran yang berbahan pasir hitam.

Sementara dibeberapa sudut bangunan, tumbuhan-tumbuhan liar juga tumbuh. Begitu rimbun. Bahkan dedaunan dan rantingnya yang telah mengering dan jatuh, membuat bagian dalam bangunan itu kotor.

Kondisinya dimaklumi? bisa saja. Karena memang pancoran desa yang berlokasi di wewidangan Desa Adat Buleleng itu memang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Apalagi, bangunan itupun sudah berusia ratusan tahun. Karena sejarah mencatat, pancran desa itu sudah ada sejak jaman Kerajaan Buleleng di masa silam.

Dosen Sejarah dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja Made Pageh menyebut jika tidak ada catatan yang pasti mengungkap sejak kapan pancoran Desa tersebut ada. Namun berdasarkan catatan yang dibuat oleh P.J. Veth tahun 1868 dan dimuat dalam majalah untuk “Nederlandsch Indie” dengan mengutip banyak keterangan dari P.L. Van Bloemen Waanders, pancoran desa yang dulunya dimanfaatkan sebagai pemandian umum itu sudah ada sejak tahun 1800-an.

Berdasarkan catatan itu, sekitar tahun 1810, Gusti Gede Karang menyuruh membuat istana untuk dirinya di Desa Buleleng, yang diberi nama Singa Raja. Istana itu terletak kira-kira dua pal dari Pelabuhan Pabean dengan penghubung jalan besar.

“Kalau dihitung dalam satuan kilometer, itu artinya berjalan dua kilometer dari Pelabuhan Buleleng. Nah itulah awal pembangunan Puri Buleleng. Karena membangun sebuah kerajaan, maka juga membuat pemandian umum untuk rakyatnya,” jelasnya.

Made Pageh pun meyakini jika panciran desa yang kini terletak di sebelah Selatan Puri Seni sasana Budaya Singaraja itu sudah mengalami beberapa kali perbaikan. Sebab sejarah mencatat Buleleng khususnya diterjang sejumlah bencana alam.

Dosen Sejarah Undiksha, Made Pageh

Masih dalam catatan yang ditulis P.J. Veth tahun 1868, becana alam terjadi ditahun 1815. Kala itu, Gunung Tambora meletus di Bulan April 1815, yang membawa akibat buruk juga bagi sebagian besar wilayah Buleleng. Saat itu, sawah dan lading tertutup oleh abu tebal, dan tanaman-tanaman di sawah sebagian besar rusak.

Kemudian bencana lain terjadi setahun setelahnya, yakni ditahun 1816. Saat itu, Buleleng diterjang tanah longsor yang mengubur sebagian besar desa-desa makmur di Buleleng dengan banjir lumpur setebal 10 hingga 12 kaki. Bencana itu disebut menelan korban jiwa mencapat 12 ribu jiwa lebih.

Dan yang terakhir adalah peristiwa gempa bumi besar. Pusat gempa bumi diperkirakan berada di laut sebelah utara kerajaan Buleleng di Bali utara. Ibukota Buleleng yaitu Singaraja mengalami kerusakan parah. Gempa bumi tersebut menggetarkan seluruh pulau Bali, sehingga disebut juga “Gejer Bali” yang artinya Bali bergetar.  Selain di Bali, getaran kuat juga dirasakan hingga Surabaya, Lombok, bahkan Bima.

“Dari sejumlah peristiwa bencana besar itu, pastinya sudah mengalami beberapa kali perbaikan. Bahkan kalau melihat relief di Puri Buleleng, disana juga tertulis tahun 1933. Jadi kemungkinan terakhir direnovasi tahun itu,” ucapnya.

Pageh berkata Pancoran Desa yang terletak di Lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng itu, dulunya memang dimanfaatkan sebagai pemandian umum bagi rakyat Raja Buleleng.

“Yang memanfaatkan pemandian umum itu ya, pedagang dan pembeli di Pasar Buleleng. Dan dulu lokasi Taman Gajah Panji Sakti itu adalah tanah lapang tempat berlangsungnya banyak kegiatan masyarakat. Setelah itu mereka mandi ya ke pemandian umum itu,” ceritanya.

Pewarta  : Putu Rika Mahardika

Editor      : Putu Nova A.Putra

|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts